APA ITU BIMBEL?
Bimbel adalah sebuah lembaga bimbingan belajar atau pendamping anak
dalam belajar, Kami menerapkan sistem pembelajaran anak yang lebih
menyenangkan dan lebih mudah untuk dimengerti. Sehingga, anak yang telah
bergabung bersama kami, akan merasa nyaman dan berprestasi dalam
pelajaran.
Mengapa memilih BIMBEL?
Agar anak siap menghadapi pelajaran esok hari di sekolah, dan siap
menghadapi ulangan harian, tes dadakan, Ujian Semester ataupun UAS dan
UAN.
Apa keunggulan BIMBEL?
Kami memberikan pelayanan untuk semua kalangan dan kelas, dari SMP.
Kami akan memberikan ringkasan materi dan rumus2 untuk Mat, Fisika dan
Kimia yang dapat dijadikan sebagai pegangan murid untuk ke depan.
Kami juga melengkapi pengajar dengan beberapa soal2 latihan untuk murid.
Biaya Belajar Per Bulan
Nah kalo untuk biaya, agan dan sis bisa langsung aja HUBUNGI kami ke : 087802166894 ( Andy) e-mail : centerbee164@gmail.com
CARA PENDAFTARAN : Bisa langsung telepon kami atau bisa PM dulu di sini untk tanya2 dulu juga boleh... :)
belajarterus
Selasa, 03 September 2013
Keunggulan Bimbel
Keunggulan
7 Alasan
mengapa Anda perlu memilih bimbel sebagai tempat terbaik bagi Anak Anda untuk
berkembang
1. Modul soal lengkap sesuai kebutuhan siswa di sekolah
Bimbel memiliki 7 (tujuh) lapis modul dengan berbagai tingkat kesulitan, anak Anda
bisa mengerjakan soal yang mereka butuhkan dan tidak terbatas berapa banyak
yang bisa mereka kerjakan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menjawab
berbagai variasi soal.
|
2.
Siswa bisa belajar 3 pelajaran sekaligus dengan sistem moving class
Dengan
padatnya materi pelajaran di sekolah, anak Anda bisa mendapatkan apa yang
mereka butuhkan, jika mereka perlu belajar lebih dari satu mata pelajaran
dalam satu sesi atau shift, mereka tinggal mengatur waktunya sendiri dan
pindah ke pelajaran selanjutnya yang dibutuhkannya.
|
3.
Sistem semi privat dengan personal approach
Dengan
pengalaman dan informasi yang selalu up to date dengan informasi pendidikan
terkini,bimbel selalu menyesuaikan dengan kebutuhan sekolah sehingga bisa
memenuhi kebutuhan anak Anda. Dengan 7 modul lapis soal, apapun yang
dibutuhkan anak Anda akan tersedia ditambah dengan prediksi untuk ulangan
harian dan ulangan umum dari bimbel yang sering kali sangat akurat dan
membantu siswa (tanpa kerja sama dengan guru sekolah).
|
4.
Metode belajar yang menekankan learning process
Bimbel setiap saat meneliti dan mengembangkan cara-cara terbaru untuk memudahkan
siswa dalam belajar. Dengan mengerti bagaimana cara belajar terbaik dan cara
kerja pikiran, tim bimbel selalu mencari cara terbaik untuk menjadikan anak
Anda yang terbaik dari dirinya.
|
5.
Guru-guru tetap dengan standar tinggi yang profesional
Anak Anda
akan mendapatkan bimbingan dari guru-guru yang dilatih dengan professional
dan berkala oleh pakar-pakar pendidikan dan juga psikologi. Setiap tahun
Senyum selalu memberikan pelatihan dan pengembangan untuk setiap lapisan
tim, dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kualitas setiap tim yang
akan melayani anak Anda di bimbel. Pelatihan yang intensif untuk
meningkatkan kualitas pengajaran kepada anak Anda.
|
6.
Komunikasi berkala ke orangtua untuk perkembangan belajar anak
Perkembangan
anak Anda dapat Anda pantau setiap saat dan terukur. Sehingga
perkembangan anak Anda terpantau dari waktu ke waktu. Dengan pelayanan ini,
Anda dapat mengetahui setiap perkembangan dan bagaimana cara anak Anda
belajar di bimbel.
7.
Garansi nilai Ujian Nasional minimal 80*
|
Program
yang dirancang khusus untuk mempersiapkan siswa/i menghadapi Ujian Nasional
SD, SMP dan SMU. Program ini dilaksanakan pada awal bulan maret (awal
semester). Dalam program ini bimbel member garansi minimum nilai UN
matematika, fisika dan kimia minimum 8 apabila berhasil menyelesaikan
program/paket Soal yang di siapkan bimbel.
|
Bimbingan Belajar, di Antara Kebutuhan dan Kemampuan
Pendidikan yang diperoleh di bangku sekolah dirasa tak cukup menggenjot nilai hasil kelulusan siswa yang makin meningkat, terlebih untuk mempersiapkan diri ke jenjang yang lebih tinggi. Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) pun menjadi pilihan populer para siswa.Lembaga Bimbingan Belajar berkibar, seiring semakin tingginya standar kelulusan Ujian Nasional (UN). Ditandai semakin banyaknya siswa yang berminat untuk menempuh berbagi program LBB, demi memperoleh nilai tinggi serta lulus di jenjang yang lebih tinggi.
Maraknya LBB menjadi pilihan tersendiri bagi siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya prestise, tuntutan, dan kegalauan siswa maupun orang tua agar anaknya memperoleh hasil belajar yang tinggi. Hal ini tidak terlepas dari pendidikan yang dirasa kurang di bangku sekolah.
Anak yang terobsesi oleh tuntutan orang tua, terpengaruh teman-temannya, dan terpincut promosi pengusaha bimbel, sebenarnya adalah anak yang mempunyai kemampuan dan kekurangan sekaligus
Hal ini menjadi lahan yang subur bagi bisnis pendidikan yang berkibar sebagai LBB atau biasa disebut bimbel ini. Akan tetapi, apakah bimbel benar-benar membimbing anak untuk dapat belajar dengan baik melalui usahanya sendiri dan sesuai dengan hakikat pendidikan(?)
Di bimbel, siswa dijejali dengan soal-soal. Hakikat belajar dibelokkan menjadi kemampuan menjawab soal. Nilai tambah bimbel dibanding sekolah adalah ketersediannya memberikan rumus-rumus praktis pelajaran.
Bimbel pun marak di tengah persaingan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Masing-masing menawarkan kelebihannya. Persaingan antar LBB pun tak terelakkan. Baik itu siswa yang ikut LBB karena keinginan sendiri ataupun dorongan prestise orang tua yang menginginkan anaknya memperoleh nilai yang tinggi serta lulus di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit.
Namun, jika di analisa kembali, jika seorang siswa belajar dengan sungguh-sungguh di sekolah serta diteruskan dengan tekun, teratur, dan tertib di rumahnya niscaya akan meraih hasil belajar yang baik pula. Namun, anak yang terobsesi oleh tuntutan orang tua, terpengaruh teman-temannya, dan terpincut promosi pengusaha bimbel, sebenarnya adalah anak yang mempunyai kemampuan dan kekurangan sekaligus.
Kemampuannya adalah anak sanggup menjaga prestise orang tua, bergaul dengan sesamanya dan mampu membayar ratusan ribu bahkan jutaan rupiah biaya bimbel. Adapun kekurangannya cuma satu: minim percaya diri. Kekurangpercayaan pada kemampuan sendiri, pada proses belajar dan kegiatan pendidikan di sekolah, hal inilah yang menyuburkan ladang bisnis bimbel di kota-kota besar, tak terkecuali Makassar.
Bagi siswa yang sulit belajar mandiri, kurang dapat mengikuti pelajaran dari guru di sekolah atau kondisi lingkungan rumahnya tidak kondusif untuk belajar dan orang tuanya memiliki cukup dana-biaya, maka ikut bimbel sangat direkomendasikan di sini. Tetapi dengan catatan, siswa tetap pro-aktif selama ikut bimbel, tidak pasif, cuma menjadi penonton para pengajar bimbel yang sibuk mengotak-atik jurus/rumus singkat pemecahan soal.
Siswa, selain rajin mencatat penjelasan para tentor dan menyimak buku-buku panduannya, juga harus aktif bertanya baik selama proses belajar berlangsung maupun di luar waktu itu, jika sekiranya ada materi soal yang tidak dimengertinya. Jangan menyia-nyiakan ratusan ribu hingga jutaaan rupiah uang orang tua kalau hanya untuk berbengong ria atau ngerumpi sesama siswa di bimbel!
Padahal di sisi lain, sukses menembus SPMB tak harus ditentukan oleh ikut kursus di bimbel. Lebih baik anak-anak itu mempersiapkan diri dengan benar sejak masuk SLTA dengan memahami benar pelajarannya. Kalau ia paham benar terhadap apa yang dipelajari di sekolah ditambah mau belajar kembali secara teratur, tak usah ikut bimbingan belajar juga bisa. Buktinya, anak-anak di daerah yang umumnya tak mampu sehingga jelas tak bisa ikut bimbingan belajar bisa lolos tes SPMB. Modalnya hanya rajin belajar, paham, dan mengerti pelajaran sebagaimana kurikulum yang berlaku. Bimbingan belajar, hanya dibutuhkan oleh mereka yang malas belajar, tetapi ingin lulus ujian.
Pada pokoknya ia mengatakan, belajar tak bisa dengan cara instan. Apalagi, tujuan tes sebenarnya untuk memprediksi kemampuan calon mahasiswa ketika menempuh ilmu di perguruan tinggi. Itulah sebabnya, di dalam soal jenis IPC (gabungan IPS dan IPA), kemampuan siswa memahami ilmu secara terpadu benar-benar diuji. Jika ia hanya belajar instant, setengah matipun tak akan bisa memahami ilmunya, karena pemahaman itu terjadi lewat proses pembelajaran.
Jelas sudah, bimbingan belajar sebenarnya hanya sarana untuk mengajak siswa mau belajar keras. Tanpa ia paham benar ilmunya, maka hasilnya akan berakhir sia-sia. Perlu ikut bimbingan belajar atau tidak, keputusannya kembali kepada kebutuhan masing-masing orang.
Jumat, 07 Desember 2012
MAKALAH
KRITIK SASTRA
(PENILAIAN
KARYA SASTRA, ANALISIS KARYA SASTRA
DAN
PENERAPANNYA)
OLEH
BAU RANA
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH
BULUKUMBA
2012
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang patut kita ucapkan selain Alhamdulillah,
atas segala nikmat dan hidayah yang tak henti-hentinya Allah SWT berikan kepada
penyusun, puji syukur hanya bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan sedikit
ilmu-NYA kepada ummat manusia. Salawat dan salam semoga terlimpahkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa sedikit ilmu Allah dan memberi
contoh bagaimana mengamalkan ilmu itu, yang telah menghamparkan permadani yang
indah dan menggulung tikar-tikar kebatilan, kemudian semoga terlimpahkan pula
keselamatan bagi keluarga dan sahabat Nabi.
Dalam penyusunan makalah ini,
penyusun pastinya menemui banyak hambatan dan kesulitan. Namun, berkat semangat
dan bantuan serta dukungan dari semua pihak, hambatan dan kesulitan itu bisa
teratasi. Penyusunan makalah ini sebagai tugas kelompok pada
mata kuliah “Kritik Sastra”.
Penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyusunan dan penyelesaian makalah ini.
Bulukumba, November 2012
Tema Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL................................................................................. i
KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR
ISI............................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A.
Latar
Belakang................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah.......................................................................... 2
C.
Tujuan
Penulisan............................................................................ 2
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................... 3
A.
Penilaian Karya Sastra................................................................... 3
B.
Analisis Karya Sastra dan
Penerapan Nilai.................................. 5
BAB III
PENUTUP.................................................................................. 11
A.
Simpulan......................................................................................... 11
B.
Saran................................................................................................ 11
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk melihat adanya
kebaruan atau inovasi dalam karya yang bersangkutan, tidak dapat lain, kita
mesti mencermati semua unsur intrinsik yang melekat dalam karya tersebut. Dalam
hal ini, acuan untuk menentukannya bukan pada tema karya bersangkutan, melain-kan
pada semua unsur intrinsik yang terdapat pada karya-karya yang terbit
sebelumnya. Sebagai contoh, apakah tema novel Sitti Nurbaya (1922) atau Salah
Asuhan (1928) memperlihatkan kebaruannya atau tidak? Untuk memperoleh
jawabannya, maka kita harus melihat dahulu karya yang terbit sebelumnya; Azab
dan Sengsara (1920) misalnya.
Ketika seorang pembaca
berhadapan dengan karya sastra, apakah ia dapat lang-sung mengatakan bahwa
karya itu baik atau tidak? Tentu saja penilaian dengan cara demikian tidak
objektif . Pertama-tama yang harus dilakukan adalah membaca karya itu dahulu.
Jika sudah kita cermati benar, barulah kita dapat memberi penilaian atas karya
yang bersangkutan.
Untuk menghasilkan
penilaian yang objektif dapat dipertanggungjawabkan, tentu saja cara penilaian
yang seperti itu tidaklah tepat. Bahkan terkesan sangat subjektif. Pe-nilaian
demikian jelas sangat bergantung pada kesan dan sikap suka atau tidak suka. Ia
akan menghasilkan penilaian yang relatif, karena sangat ditentukan oleh
subjektivitas pem-baca. Jika demikian, dasar apa yang dapat kita gunakan untuk
menentukan sebuah karya sastra dikatakan baik atau buruk, berhasil atau tidak?
Kriteria apa yang kita gunakan untuk menentukannya, sehingga ada genre sastra
garda depan (avant garde), sastra serius, dan sastra populer.
Demikianlah untuk
menentukan sebuah karya berhasil atau tidak, kita mesti memi-sahkannya dahulu
dari nama pengarangnya. Oleh karena itu, kita mesti menjawabnya ber-dasarkan
karyanya itu sendiri dan bukan karena pengarangnya atau latar belakang diri
pengarang bersangkutan.
B.
Rumusan Masalah
Dengan melihat latar
belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalahnya yaitu, “Bagaimanakah
penilaian, analisis dan penerapan dalam suatu karya sastra?”
C.
Tujuan Penulisan
Dengan melihat rumusan masalah
diatas, maka tujuan penulisannya adalah “Untuk mengetahui penilaian, analisis
dan penerapan dalam suatu karya sastra”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENILAIAN KARYA SASTRA
Karya sastra sebagai karya seni memerlukan pertimbangan,,
memerlukan penilaian akan seninya. Sejauh manakah nilai seni suatu karya
sastra; atau mengapakan suatu karya sastra dikatakan mempunyai nilai seni, atau
mengapa karya sastra dikatakan indah.
Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan
kegunaannya, kekurang pahaman tentang penilaian seringkali menimbulkan
kesesatan dan penilaian yang tidak tepat. Sering hal ini menyebabkan orang
menilai karya sastra menyimpang dari hakikat dan guna (fungsi) karya sastra,
atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra sebagai karya seni, hanya
menjadi alat propaganda, yang nilainya sama dengan teks pidato.
Aoh Kartahadimadja (Pradopo, 1994: 31) menyatakan
pendapatnya tentang batas untuk menentukan baik dan buruknya suatu sajak,
cukuplah bagi si pendengar atau peninjau untuk menerimanya. Berdasarkan kutipan
tersebut, Aoh tidak menganalisis hubungan nilai, hakikat sastra, dan fungsi
seni sastra hingga jawabnya sangat subjektif dan tidak jelas. Sebab itu, betapa
pentingnya dalam menilai karya sastra untuk mengetahui hubungan nilai, hakikat,
dan fungsi. Rene Wellek (Pradopo, 1994: 31) menyetakan pentingnya hubungan
hakikat, fungsi, dan penilaian karya sastra, yaitu: “Bagaimana orang menilai
dan menentukan nilai sastra? Harus kita jawab dengan definisi-definisi.
Seharusnya orang menilai karya sastra seperti adanya dan menaksir nilai itu
menurut kadar sastra, hakikat sastra, fungsi dan penilaian erat hubungannya”.
Ada banyak batasan tentang hakikat kesusastraan, Zuber
Usman (Pradopo, 1994: 33) kesusastraan adalah hasil pekerjaan pengarang dan
penyair; Suparlan mendefinisikan kesusastraan adalah kesenian suatu bangsa
dalam melahirkan pikiraan, perasaan, dan kemauan dengan bahasa.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka disimpulkan
hakikat kesusastraan adalah hasil karya penyair yang bersifat imaginatif dan
estetika.
Hakikat fungsi karya sastra yaitu menyenangkan dan
berguna yang bersifat objektif terpancar dari karya sastra itu sendiri. Kedua
fungsi sifat ini hadir bersamaan dan tidak dapat dipsahkan karna meskipun
pengungkapannya menyenangkan, tetapi bila diungkapkan itu hanya hal yang remeh
maka tidak ada gunanya. Sebaliknya, bila diungkapkan adalah pengalaman besar
tetapi diungkapkan dengan cara yang buruk maka orang tidak tertarik terhadap
karyanya.
Seni sastra menyenangkan dan seimbang karna hakikatnya
sendiri, seni sastra menyenangkan karna sifatnya seimbang, berirama, kata-kata
menarik hati, mengharukan, mengandung ketegangan, dan sebaliknya. Sifat yang
demikianla yang memikat para penikmat sastra. Karya sastra yang kian banyak
memberikan kesenangan dan kian banyak memberikan kegunaan maka kian tinggi
mutunya.
Dalam menilai karya sastra berdasarkan fungsinya,
haruslah menggunakan kriterian hakikat, sedang fungsi lain diluar diluar
hakikat tersebut jatuh pada kriterian kedua bisa masih menginginkan penilaian
karya sastra sebagai karya seni. Pada dasarnya ada tiga paham tentang penilaian
yang penting, yaitu relativisme, absolutisme, dan perspektivisme.
Relativisme adalah paham
penilaian yang menhendaki tidak adanya penilaian lagi, atau penilaian yang
dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra. Bila suatu karya
dianggap bernilai oleh masyarakat pada zaman tertentu, maka karya sastra
tersebut haruslah dianggap bernilai pada zaman dan tempat lain.
Penilaian Absolutisme
ini menilai karya sastra berdasarkan paham-paham, aliran-aliran, politik,
moral, ataupun berdasar ukuran-ukuran tertentu yang sifatnya dogmatis dan
berdasarkan pandangan yang sempit sehingga dengan demikian sifat penilaian
tidak berdasarkan pada metode literer, tidak berdasarkan pada hakikat seni itu
sendiri.
Kesimpulan dari uraian tersebut bahwa dalam menilai karya
sastra haruslah mengingat karya sastra sebagai karya seni yang bersifat imaginatif dan bersifat seni.
B. ANALISIS
KARYA SASTRA DAN PENERAPAN NILAI
Dalam
pembicaraan dan analisis serta penerapan nilai karya sastra ini, kita mengambil
contoh-contoh sajak, berdasar pada kenyataan bahwa puisi unsur-unsurnya lebih
lengkap dan padat daripada prosa, seperti bunyi, irama, pembagian irama,
pemilihan kata-kata, kombinasi kata, bahasa kiasan, dan gaya bahasa. Seperti
dikemukakan Subagio Sastrowardojo dalam prasarannya di Semarang: “Puisi adalah inti
pernyataan sastra. Demikianlah menurut sejarah dan hakekatnya. Menurut
sejarahnya, pernyataan sastra pada semua bangsa dimulai dengan puisi, bahkan
pada permulaan masa perkembangan itu, satu-satunya pernyataan sastra yang
dipandang kesusastraan ialah puisi.
Juga di zaman modern, setelah bentuk prosa mendapat pengakuan sebagai kemungkinan pernyataan yang lain, puisi tetap menempati kedudukan yang sentral dalam kesusastraan memokokkan perhatiannya puisi. Saya kira keadaan ini disebabkan oleh hakikat puisi itu sendiri.
Juga di zaman modern, setelah bentuk prosa mendapat pengakuan sebagai kemungkinan pernyataan yang lain, puisi tetap menempati kedudukan yang sentral dalam kesusastraan memokokkan perhatiannya puisi. Saya kira keadaan ini disebabkan oleh hakikat puisi itu sendiri.
Menurut
hakikatnya, ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi. Di dalam puisi
terhimpun dan mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Di
dalam puisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra, yang tidak dapat sepenuhnya
dapat dicapai oleh prosa.”
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut. Artinya, kritik sastra yang sederhana sekalipun hendaknya sampai pada penilaian yang argumentative tentang baik buruknya karya sastra tertentu. Penilaian karya sastra merupakan tujuan kritikus yang harus bekerja dengan kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu. Dalam pelaksanaannya terbilang rumit karena masalah tersebut bukan hanya bersifat teoretis, melainkan sekaligus terapan. Artinya kritikus harus memahami sejumlah teori sastra, kemudian dapat memilih secara tepat suatu teori yang akan diterapkan dalam karya sastra tertentu, dan pada akhirnya harus dapat menjelaskan hasil analisisnya kepada masyarakat.
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut. Artinya, kritik sastra yang sederhana sekalipun hendaknya sampai pada penilaian yang argumentative tentang baik buruknya karya sastra tertentu. Penilaian karya sastra merupakan tujuan kritikus yang harus bekerja dengan kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu. Dalam pelaksanaannya terbilang rumit karena masalah tersebut bukan hanya bersifat teoretis, melainkan sekaligus terapan. Artinya kritikus harus memahami sejumlah teori sastra, kemudian dapat memilih secara tepat suatu teori yang akan diterapkan dalam karya sastra tertentu, dan pada akhirnya harus dapat menjelaskan hasil analisisnya kepada masyarakat.
Menurut
Rene Wellek puisi (karya sastra adalah sebab yang memungkinkan timbulnya
pengalaman, bukan jumlah pengalaman. Pengalaman seseorang itu pada waktu
membaca puisi, hanyalah pelaksanaan sebagian kemungkinan yang dapat ditangkap
dari puisi yang sedang dibacanya. Jadi, sebenanrnya ialah struktur norma-norma
yang hanya sebagian saja dilaksanakan menjadi pengalaman-pegalaman
masing-masing pembaca. Setiap pengalaman pembaca, misalnya membaca, deklamasi,
dan sebagainya, adalah hanya usaha menangkap rangkaian norma-norma sastra itu.
Karya sastra tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari
beberapa lapis (strata) norma. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman
Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk
(1931) dengan metode phenomenologi Edmond Husserl, menganalisis norma-norma
itu:
1.
Lapis suara (sound statum) dasar timbulnya.
2.
Lapis arti (units of meaning) Masing-masing
kata tergabung menjadi kesatuan di dalam konteks, syntagma, pola kalimat. Dari
stuktur sintaksis ini timbul.
3.
Lapis objek yang dikemukakan “dunia pengarang”, pelaku, tempat (setting).
Roman Indgarden menambahkan dua strata lagi yang sesungguhnya menurut Rene Wellek dapat dimasukkan atau tak usah dipisahkan dengan lapis ketiga (lapis dunia pengarang).
Roman Indgarden menambahkan dua strata lagi yang sesungguhnya menurut Rene Wellek dapat dimasukkan atau tak usah dipisahkan dengan lapis ketiga (lapis dunia pengarang).
4.
Lapis “dunia yang dilihat dari suatu titik pandang tertentu yang tak perlu
dinyatakan, tetapi terkandung didalamnya (implied),
5.
Stratum metafisika, lapis ini memberikan kesempatan kepada kita untuk
memikirkan sifat mulia, tragis, mengerikan, dan suci. Lapis ini tak selalu
terdapat dalam karya sastra.
Setelah
karya sastra itu dinilai berdasarkan norma-normanya, barulah dapat disimpulkan
bahwa suatu karya sastra bernilai seni, kurang bernilai, atau tidak bernilai.
Contoh puisi yang akan dianalisis adalah “Doa Seorang
Serdadu Sebelum Perang”, karya W. S. Rendra.
Doa Serdadu
Sebelum Perang
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak
menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila
malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam
dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara,
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara,
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa
yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku,
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku,
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
(W.S
Rendra dalam Pradopo, 94: 80)
Pada sajak diatas, tingkat anorgansi
sudah dapat dicapai, seperti pembagian baris sajak dan bait yang sesuai dengan
pembagian isi pikiran, enjabement
(perloncatan baris sajak), dan pola persajakan. Di samping itu, ungkapan yang
puitis disebabkan keplastisan dan sugestifsebagai berikut.
Wajah-Mu membayang di kota trebakar, yang memberi sugiesti
adanya yang menghancurkan kota, ungkapan itu lebih kongkret dibandingkan: di
kota perang. Ribuan kuburan yang dangkal,
memberikan
sugiesti bahwa dalam peramng banyak nyawa yang hilang sia-sia, yang hanya
dikubur dengan dangkal atau mati dengan alasan sederhana tanpa arti.
Dalam sajak tersebut penyair menggunakan
lambang-lambang yang sugiestif, konotatif, dan memberi kejelasan hingga dapat
mengungkapkan pengalaman jiwanya. Dalam sajak ini pengarang juga mengungkapkan
majas-majas paradoks yang mengharukan karena sangat tepat, menunjukkan
prtentangan arti, yang menimbulkan ketragisan, dapat mendramatisir peristiwa
tersebut kehadapan mata kita.
Dalam menilai karya sastra
haruslah dilihat hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya, mengingat
bahwa karya sastra penjilmaan jiwa sastrawan ke dalam suatu karya sastra dengan
medium bahasa. Sehingga dalam menilai karya sastra haruslah dilihat berhasil
atau tidaknya sastrawan menjilmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata. Namun,
jika pengalaman jiwa itu dapat dijilmakan ke dalam kata, karya sastra itu tak
mempunyai nilai tinggi jika pengalaman jiwanya itu hanya sederhana, sedikit,
atau tidak lengkap, dan tidak meliputi keutuhan jiwa.
Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia itu terdiri dari lima tingkatan , begitu juga pengalaman jiwa terdiri dari lima tingkatan atau niveaux.
Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia itu terdiri dari lima tingkatan , begitu juga pengalaman jiwa terdiri dari lima tingkatan atau niveaux.
Tingkatan
pertama: niveau anorganis, yaitu tingkatan jiwa yang terendah, yang sifatnya
seperti benda mati, mempunyai ukuran, tinggi, rendah, panjang, dalam, dapat
diraba, didengar, pendeknya dapat diindera. Bila tingkatan ini terjilma dalam
karya sastra, berupa pola bunyi, irama, baris sajak, alinea, kalimat,
perumpamaan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Tingkatan
kedua: nivea vegetatif, yaitu tingkatan seperti tumbuh-tumbuhan, seperti pohon
mengeluarkan bunga, mengeluarkan daunnya yang muda, gugur daunn dan sebagainya.
Segala pergantian itu menimbulkan bermacam-macam suasan. Misalnya bila musim
bunga suasana yang dimbulkan adalah romantis, menyenangkan, menggembirakan.
Bila musim gugur menimbulkan suasana tertekan, menyedihkan, dan keputusasaan.
Tingkatan
yang ketiga: niveau animal, yaitu tingkatan seperti yang dicapai binatang,
yaitu sudah ada nafsu-nafsu jasmaniah. Dalam kata atau karya sastra maka
tingkatan ini berupa hasrat untuk makan, minum, nafsu seksual, nafsu untuk
membunuh dan sebagainya.
Tingkatan
yang keempat: niveau human, yaitu tingkatan jiwa yang hanya dapat dicapai oleh
manusia, berupa perasaan belas kasihan, dapat membedakan baik buruk, berjiwa
gotong royong, saling membantu dan sebagainya.
Berdasarkan uraian-uraian diatas,
pengalaman jiwa itu yang menjadi dasar terjelmanya kedalam kata. Dalam sajak,
penyair dapat mengungkapkan pengalaman jiwanya kedalam kata berupa gambaran
kongkret dengan perang bencana yang ditimbulkan. Dengan demikian sajak “Doa
seorang serdadu sebelum perang” dapat memenuhi kriteria puisi yang bernilai
seni, beberan (pengekspresian) indah dan besar muatannya. Begitupun jika
dinilai dari sudut keasliannya serta daya kreativitasnya, sajak ini bukan
jiplakan serta mengandung daya cipta karena pengungkapannya asli, berwatak
sendiri, dan memberikan dunia khusus yaitu dunia penyair.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Suatu nilai
tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan kegunaannya, kekurang pahaman tentang
penilaian seringkali menimbulkan kesesatan dan penilaian yang tidak tepat.
Sering hal ini menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat
dan guna (fungsi) karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya
sastra sebagai karya seni, hanya menjadi alat propaganda, yang nilainya sama
dengan teks pidato.
Hakikat fungsi
karya sastra yaitu menyenangkan dan berguna yang bersifat objektif terpancar
dari karya sastra itu sendiri. Kedua fungsi sifat ini hadir bersamaan dan tidak
dapat dipsahkan karna meskipun pengungkapannya menyenangkan, tetapi bila
diungkapkan itu hanya hal yang remeh maka tidak ada gunanya. Sebaliknya, bila
diungkapkan adalah pengalaman besar tetapi diungkapkan dengan cara yang buruk
maka orang tidak tertarik terhadap karyanya.
Menurut hakikatnya,
ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi. Di dalam puisi terhimpun dan
mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Di dalam puisi ada
konsentrasi unsur pembentuk sastra, yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai
oleh prosa.”
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut
B.
Saran
Dalam
penulisan makalah ini, penulis berharap makalah ini dapat dijadikan referensi,
terkhusus bagi mahasiswa yang memilih jurusan bahasa da Sastra Indonesia
sebagai calon guru kedepannya. Semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Mahayana, Maman S. Kriteria
penilaian dalam kritik Sastra. .
Depok.
MAKALAH
SEJARAH
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN
DI CHINA
DAN INDIA
OLEH
BAU RANA
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH
BULUKUMBAA
2012
KATA
PENGANTAR
Assalamu alaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Tiada kata yang patut kita ucapkan
selaain Puja dan Puji syukur atas limpahan
Rahmat dan Hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Perkembangan Pendidikan di China dan India”. Penulis
berharap semoga makalah ini dapat
memberikan sumbangan yang berarti dan berguna bagi pembaca sekalian. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan baik
dari segi materi yang disajikan maupun dari struktur bahasa yang digunakan,
itu semua tidak lain disebabkan oleh keterbatasan yang penulis miliki, untuk
itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan koreksi yang membangun dari
para pembaca. Akhir kata mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca sekalian.
Team
Penyususn
Bulukumba, November 2012
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A.
Latar belakang......................................................................................... 1
B.
Tujuan...................................................................................................... 2
C.
Rumusan masalah................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN .................................................................................... 3
A.
Filsafat Pendidikan China Secara Garis
Besar.................................... 3
B.
Sistem Pendidikan pada Dinasti Han.................................................... 4
C.
Perkembangan Pendidikan di
India...................................................... 7
BAB
III
PENUTUP............................................................................................. 12
A.
Simpulan................................................................................................... 12
B.
Saran......................................................................................................... 13
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................... 14
BAB
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada sebuah hadist mengenai pendidikan, yang dalam bahasa
Indonesia berbunyi: “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Dalam hadist ini
muncul satu negara, yaitu negeri Cina. Dari hadist ini timbul pertanyaan, ada
apa dengan pendidikan cina sehingga dapat dijadikan panutan untuk negeri lain.
Dalam buku Muhammad Said dan Junimar Affan (1987: 119) yang berjudul Mendidik
Dari Zaman ke Zaman dikatakan bahwa: “Di negeri Cina pendidikan mendapat tempat
yang penting sekali dalam penghidupan”. Dengan mendapatkan peranan yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat, membuat sistem pendidikan di Cina
meningkat.
Sikap orang Cina yang mementingkan pendidikan di dalam
kehidupannya telah melahirkan sebuah filofis orang Cina mengenai pendidikan dan
pendidikan ini telah lama menjaga kekuasaan Cina berapa lama, sampai pada
masuknya bangsa asing ke Cina yang akan merubah wajah sistem pendidikan kuno di
Cina. Tetapi, pada kesempatan ini tidak menjelaskan sampai masuknya bangsa
asing ke Cina. Permulaan pendidikan Cina kuno mencampai puncak dimulai pada
Dinasti Han, dimana ajaran Kung fu Tse kembali lagi diangkat dan diterapkan
dalam kehidupan masyarakat Cina, yang sebelumnya ajaran ini dibrangus oleh
penguasa sebelumnya.
Masyarakat Cina yang menganggap pendidikan sejalan
dengan filsafat, bahkan menjadi alat bagi filsafat, yang mengutamakan etika
(Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 119). Anggapan ini membuat pendidikan
di Cina mengiringi kembalinya popularitas aliran filsafat Kung Fu Tse di dalam
masyarakat Cina.
Pada masa Dinasti Han banyak melahirkan para sarjana-sarjana yang kelak akan memimpin negara dan telah membuat Dinasti Han sebagai salah satu dinasti yang besar dalam sejarah Cina.
Pada masa Dinasti Han banyak melahirkan para sarjana-sarjana yang kelak akan memimpin negara dan telah membuat Dinasti Han sebagai salah satu dinasti yang besar dalam sejarah Cina.
Sementara India
memiliki luas daerah 3.287.263 km persegi. Negara ini tercatat sebagai negara
terluas ketujuh dan terpadat kedua di dunia setelah Cina. Mayoritas penduduknya
beragama Hindu (83%). Adapun yang beragama Islam berjumlah 12%, Kristen, Siktis
dan lainnya.
Ekonomi India mengandalkan sektor pertanian dan
peternakan mencapai 34% dari pendapatan negara. Sektor pertanian sendiri mampu
menyerap 69% tenaga kerja yang ada. Umumnya ekonomi India dipengaruhi oleh
perubahan land reform, revolusi hijau, industrialisasi dan migrasi.
Industri perfilm-an India tergolong besar dan sanggup merekrut banyak tenaga
kerja. Bollywood merupakan contoh kongkritnya, dengan model dan alur cerita
dalam film yang diiringi dengan nyanyian dan tarian tersebut selain
mendatangkan profit juga melestarikan seni dan budaya lokal.
India merupakan salah satu kawasan Asia Selatan yang
memiliki kemegahan kebudayaan yang megah di dunia yang menyaingi Cina dalam
kesusasteraan, seni dan arsitektur. Perasaan nasionalis India mulai berkembang
setelah timbul rasa bangga atas hasil-hasil kebudayaan mereka yang dipelajari
dan kemudian dialih bahasakan oleh sarjana-sarjana asing ke dalam bahasa-bahasa
barat.
B.
Rumusan Masalah
Dengan
melihat latar belakang yanag ada di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini adalah “Bagaimana perkembangan pendidikan di China dan India”.
C.
Tujuan Penulisan
Dengan melihat rumusan masalah yang ada di atas, maka tujuan penulisan
dalam makalah ini adalah “Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan di
China dan di India”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Pendidikan Cina Secara Garis Besar
Dinasti Han tahun 206 SM – 220 M merupakan dinasti
kekaisaran besar pertama didalam perjalanan sejarah kekaisaran Cina. Pada masa
ini banyak literature lama yang dikumpulkan dan diperbaiki kembali. Hal
tersebut dikarenakan pada masa pemerintahan sebelumnya ajaran-ajaran kong hu cu
diberantas habis. Pada masa ini Confusianisme menjadi falsafah terkemuka dan
menjadi inti bagi sistem pendidikan (Raymond Dawson, 1999: xv). Pada masa
Dinasti Han ini yang menjadi dasar masyarakat Tionghoa, ialah pengajaran
counfusius (H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak, 1951: 186).
Pada negeri Cina pendidikan mendapat tempat yang penting
sekali dalam penghidupan (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 119). Hal
tersebut dikarenakan masyarakat Cina menganggap pendidikan sejalan dengan
filsafat, bahkan menjadi alat bagi filsafat, yang mengutamakan etika (Muhammad
Said dan Junimar Affan, 1987: 119). Anggapan ini membuat pendidikan di Cina
mengiringi kembalinya popularitas aliran filsafat Kung Fu Tse di dalam
masyarakat Cina.
Anggapan tersebut muncul dari ajaran-ajaran Confusianisme yang mulai mendapatkan tempat kembali di hati rakyat Cina, yang ditandai dengan munculnya Dinasti Han sebagai penguasa. Ajaran-ajaran tersebut mengajarkan bahwa pendidikan tersebut penting.
Anggapan tersebut muncul dari ajaran-ajaran Confusianisme yang mulai mendapatkan tempat kembali di hati rakyat Cina, yang ditandai dengan munculnya Dinasti Han sebagai penguasa. Ajaran-ajaran tersebut mengajarkan bahwa pendidikan tersebut penting.
Seperti yang ditanamakan Hsun Tzu, “Belajar terus sampai
mati dan hanya kematianlah yang menghentikannya” (H. 19). Belajar adalah
pekerjaan sepanjang hayat, dan jabatan yang tinggi mungkin merupakan
ganjarannya. Cina telah memberikan status pada kegiatan belajar lebih dari
masyarakat mana pun (Raymond Dawson, 1999: 16)
Dalam membicarakan mengenai falsafah pendidikan Cina,
tidak dapat dijauhkan dari pembicaraan mengenai ajaran Confusianisme. Seperti
yang diutarakan di atas, bahwa ajaran confusianisme memberikan dasar-dasar dan
sumbangan-sumbangan dalam sistem pendidikan Cina, khususnya pada masa Dinasti
Han ini. Dalam ajaran confusianisme, pendidikan adalah mesin yang mengemudi
dunia kebenaran… menuntut pendidikan dikejar secara terus menerus sampai
kematian.
Pernyataan-pernyataan yang dinilai mementingkan pendidikan tersebut dan diperkuat dengan ajaran kong hu cu yang dianggap sebagai agama bagi masyarakat Cina, dimana masyarakat Cina sangat kuat dalam memeluk ajaran tersebut, sehingga membuat pendidikan memiliki sisi yang penting dalam kehidupan masyarakat Cina. anggapan pentingnya pendidikan tersebut meberikan dampak yang sangat berpengaruh dalam sistem masyarakat Cina, sehingga segala aspek yang berhubungan dengan pendidikan mendapatkan tempat-tempat istimewa.
Pernyataan-pernyataan yang dinilai mementingkan pendidikan tersebut dan diperkuat dengan ajaran kong hu cu yang dianggap sebagai agama bagi masyarakat Cina, dimana masyarakat Cina sangat kuat dalam memeluk ajaran tersebut, sehingga membuat pendidikan memiliki sisi yang penting dalam kehidupan masyarakat Cina. anggapan pentingnya pendidikan tersebut meberikan dampak yang sangat berpengaruh dalam sistem masyarakat Cina, sehingga segala aspek yang berhubungan dengan pendidikan mendapatkan tempat-tempat istimewa.
Ajaran confusianisme yang mulai muncul kembali dan
berkembang pesat pada masa dinasti Han, serta ajaran ini menjadi dasar
kepercayaan membuat pemerintahan tersebut menjalankan ajaran-ajaran didalamnya
secara benar. Ajaran yang sangat memberikan perhatian besar terhadap
pendidikan, membuat pemerintahan Dinasti Han membentuk sebuah system pendidikan
yang didasari atas pemikiran dari ajaran confusianisme.
B. Sistem Pendidikan Pada Dinasti Han
Pada awal pemerintahan Dinasti Han, Kaisar Wu-ti
menggunakan ajaran-ajaran konfusius dan memakai para pengikut-pengikutnya
sebagai pejabat-pejabat pemerintahan dalam menjalankan pemerintahan.
Pejabat-pejabat yang berasal dari pengikut-pengikut konfusius ini didapakan
melalui sebuah system ujian yang ketat.
Pada masa Dinasti Han sudah terdapat sebuah system pendidikan yang ketat, untuk tujuan mendapatkan pejabat-pejabat kerajaan yang berkualitas. Para pelajar yang menginginkan untuk menjadi pegawai kerajaan tidak dipandang asal golongannya, asal ia dapat melawati tahapan-tahapan ujian yang sudah ditetapkan oleh kekaisaran. Hal tersebut dikarenakan ajaran konfusius tidak memperbolehkan memandang asal-usul seseorang atau pangkatnya (H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak, 1951: 186). Para pegikut-pengikut konfusius yang berada di beberapa daerah distrik mendirikan sekolah-sekolah yang bersifat informal. Disebut sekolah informal dikarenakan proses belajar mengajar yang dilakukan tidak terikat oleh tempat atau waktu. Berjalannya pendidikan di distrik ini dibantu oleh para saudagar yang memberikan sumbangan-sumbangan (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 125). Sekolah di setiap distrik ini menampung para pemuda-pemuda yang ingin menuntut ilmu sebelum mereka mengikuti tahapan-tahapan ujian penerimaan sebagai pegawai kekaisaran.
Pada masa Dinasti Han sudah terdapat sebuah system pendidikan yang ketat, untuk tujuan mendapatkan pejabat-pejabat kerajaan yang berkualitas. Para pelajar yang menginginkan untuk menjadi pegawai kerajaan tidak dipandang asal golongannya, asal ia dapat melawati tahapan-tahapan ujian yang sudah ditetapkan oleh kekaisaran. Hal tersebut dikarenakan ajaran konfusius tidak memperbolehkan memandang asal-usul seseorang atau pangkatnya (H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak, 1951: 186). Para pegikut-pengikut konfusius yang berada di beberapa daerah distrik mendirikan sekolah-sekolah yang bersifat informal. Disebut sekolah informal dikarenakan proses belajar mengajar yang dilakukan tidak terikat oleh tempat atau waktu. Berjalannya pendidikan di distrik ini dibantu oleh para saudagar yang memberikan sumbangan-sumbangan (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 125). Sekolah di setiap distrik ini menampung para pemuda-pemuda yang ingin menuntut ilmu sebelum mereka mengikuti tahapan-tahapan ujian penerimaan sebagai pegawai kekaisaran.
Materi-materi pelajaran yang diajarkan dalam proses
belajar mengajar yaitu berasal dari isi kitab konfusius. Dalam kitab konfusius
ini berisikan cerita-cerita dalam bentuk sastra, yang didalamnya terdapat ilmu
sastra, ilmu strategi perang, ilmu pasti, ilmu hukum, dan sebagainya. Para
murid diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut dan mengembangkannya
sendiri dalam bentuk puisi (I Djumhur, : 14).
Dari gambar yang tertera (Lampiran 1) dapat diketahui metode mengajar yang digunakan para guru dalam menyampaikan bahan materi pelajaran. Para murid berkumpul mengelilingi guru yang sedang menyampaikan isi dari kitab konfusius tersebut. Setetah disampaikan kepada para murid, mereka diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 125). Jadi dari gambar dan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa metode mengajar yang digunakan oleh guru pada saat itu ialah metode ekspositori (ceramah). Penyimpulan ini dikarenakan yang dilakukakan serupa dengan metode ekspositori, dimana guru lebih aktif disini dalam mentransfer imu kepada para murid.
Setelah tahapan belajar mengajar, maka melangkah kepada tahapan evaluasi atau system ujian. System ujian yang berlaku pada masa Dinasti Han merupakan suatu hal yang unik dalam system pendidikan Cina. Pada masa itu sudah berkembang suatu system evaluasi yang sangat kompleks. Menurut Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan (2003: 144 – 145) mengatakan bahwa ujian ini dibagi ke dalam tiga tahap atau jenjang. Tiga tahap ujian tersebut antara lain: Ujian tingkat pertama diadakan di beberapa ibukota prefektur (kabupaten). Calon pegawai yang dapat melewati ujian tahap pertama ini diberi gelar Hsui-Tsai, bila diartikan yaitu “bakat yang sedang berkembang”. Mereka mendapatkan hak istimewa seperti dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, terbebas dari hukuman badan, sehingga sangat sulit sekali untuk lolos dari tahap ini. Seorang Hsui-Tsai diharuskan tiap tahuan mengikuti ujian sebagai upaya mempertahankan gelarnya tersebut, bila tidak maka namanya akan hilang dalam daftar nama golongan pelajar. Sebelum sampai pada ujian tahapan ini, pelaksanaan ujian saringan pertama dilaksanakan di setiap distrik dari setiap prefektur.
Dari gambar yang tertera (Lampiran 1) dapat diketahui metode mengajar yang digunakan para guru dalam menyampaikan bahan materi pelajaran. Para murid berkumpul mengelilingi guru yang sedang menyampaikan isi dari kitab konfusius tersebut. Setetah disampaikan kepada para murid, mereka diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 125). Jadi dari gambar dan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa metode mengajar yang digunakan oleh guru pada saat itu ialah metode ekspositori (ceramah). Penyimpulan ini dikarenakan yang dilakukakan serupa dengan metode ekspositori, dimana guru lebih aktif disini dalam mentransfer imu kepada para murid.
Setelah tahapan belajar mengajar, maka melangkah kepada tahapan evaluasi atau system ujian. System ujian yang berlaku pada masa Dinasti Han merupakan suatu hal yang unik dalam system pendidikan Cina. Pada masa itu sudah berkembang suatu system evaluasi yang sangat kompleks. Menurut Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan (2003: 144 – 145) mengatakan bahwa ujian ini dibagi ke dalam tiga tahap atau jenjang. Tiga tahap ujian tersebut antara lain: Ujian tingkat pertama diadakan di beberapa ibukota prefektur (kabupaten). Calon pegawai yang dapat melewati ujian tahap pertama ini diberi gelar Hsui-Tsai, bila diartikan yaitu “bakat yang sedang berkembang”. Mereka mendapatkan hak istimewa seperti dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, terbebas dari hukuman badan, sehingga sangat sulit sekali untuk lolos dari tahap ini. Seorang Hsui-Tsai diharuskan tiap tahuan mengikuti ujian sebagai upaya mempertahankan gelarnya tersebut, bila tidak maka namanya akan hilang dalam daftar nama golongan pelajar. Sebelum sampai pada ujian tahapan ini, pelaksanaan ujian saringan pertama dilaksanakan di setiap distrik dari setiap prefektur.
Selanjutnya, ujian tingkat dua yakni ujian tingkat
provinsi untuk mencapai gelar Chu-Jen, yakni “orang yang berhak mendapatkan
pangkat”. Orang-orang yang berhak mengikuti tahapan ujian ini yaitu orang-orang
yang telah mendapatkan gelar Hsui-Tsai. Para peserta ujian tidak langusng
mengikuti ujian, tetapi mereka diharuskan mengikuti latihan di akademi
prefektur dalam rangka menghadapi persiapan ujian Chu Jen. Ujian provinsi ini
diadakan tiga tahun sekali. Mereka yang dapat lulus dari ujian ini dengan nilai
tertinggi akan mendapatkan tunjangan belajar. Pada tahap akhir yaitu
ujian tahap tiga yang diadakan di ibukota kerajaan. Ujian ini diadakan setiap
tiga tahun sekali, dilaksanakan setahun setelah ujian provinsi. Tahapan ujian
bertujuan untuk mendapatkan gelar Chih Shih, yakni “Sarjana naik pangkat”.
Peserta ujian mendapatkan nilai yang tertinggi berhak mendapatkan penghormatan
istimewa dan menjadi orang termasyur di kerajaan. Para lulusan dapat diangkat
menjadi anggota akademi Hanlin (Hanlin Yuan), yakni dewan penasihat khusus
kaisar yang beranggotakan enam orang.
Adapun
materi-materi yang diujikan dalan tahapan-tahapan ujian ini, yakni menurut H.J.
An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak (1951: 188) adalah isi
kitab-kitab konfusius serta pengikut-pengikutnya. Hal tersebut bertujuan
sebagai pembuktian bahwa mereka mengetahui isi buku tersebut dengan seksama.
Untuk membuktikan hal tersebut mereka diharuskan dapat membuat karangan dan
mengubah dengan dasar aturan-aturan kuno. Selain itu juga, para peserta juga
diuji mata pelajaran lain, yang digolongkan ke dalam mata pelajaran tambahan.
Ujian tersebut dilaksanakan di ruang dalam bangunan-bangunan yang sangat panjang dan lurus. Bangunan panjang tersebut terdiri dari kamar-kamar kecil yang disekat (dapat dilihat dalam lampiran 2 & 3). Calon pegawai tersebut tinggal di dalam kamar selama sehari untuk ujian tahap pertama, tiga hari untuk ujian tahap kedua, dan lebih lama lagi untuk ujian tahapan ketiga (Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan, 2003: 144).
Ujian tersebut dilaksanakan di ruang dalam bangunan-bangunan yang sangat panjang dan lurus. Bangunan panjang tersebut terdiri dari kamar-kamar kecil yang disekat (dapat dilihat dalam lampiran 2 & 3). Calon pegawai tersebut tinggal di dalam kamar selama sehari untuk ujian tahap pertama, tiga hari untuk ujian tahap kedua, dan lebih lama lagi untuk ujian tahapan ketiga (Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan, 2003: 144).
Output-output yang dikeluarkan dari system pendidikan
ini disalurkan menjadi pegawai-pegawai pemerintahan dan mereka yang gagal dalam
mengikuti ujian ini akan menjadi tenaga-tenaga pengajar di daerah asalnya.
Dapat dikatakan bahwa kekaisaran Wu-ti-lah yang telah meletakkan dasar system
ujian, seperti yang berlaku di Tiongkok itu (H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan
J.P. Simandjoentak, 1951: 187)
C. Perkembangan
Pendidikan di India
India telah menjadi pijakan utama dalam nilai-nilai
pembelajaran dari masa ke masa. Namun demikian, ketika negara India memiliki
beberapa universitas terbaik di dunia, seperti BITS, ISB, IITs, NITs, IISc,
IIMs, AIIMS, mereka masih harus mengatasi tantangan dalam pemenuhan pendidikan
dasar guna mencapai angka 100% melek huruf. Pendidikan dasar dan wajib yang
bersifat universal, disertai dengan tantangan untuk menjaga anak-anak dari
keluarga kurang mampu untuk bersekolah, serta menjaga kualitas pendidikan di
daerah pedalaman, menjadi kendala terberat untuk menuntaskan target tersebut.
Hingga kini hanya negara bagian Kerala yang telah
melakukan pencapaian target tersebut. Seluruh tingkat pendidikan, mulai dari
tingkatan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, menjadi perhatian khusus
dari Department of Higher Education dan Departement of School
Education and Literacy. Pada tingkatan tersebut diberikan subsidi sangat besar
oleh Pemerintah India, meskipun terdapat wacana menjadikan pendidikan tinggi
untuk mencari pembiayaan sendiri secara terpisah.
Menurut catatan pemerintah Inggris, pendidikan adat yang
tumbuh di tengah-tengah masyarakat India telah hilang pada abad ke-18 dengan
suatu pola di mana terdapat satu sekolah untuk setiap kuil, masjid atau desa
yang berada hampir di seluruh wilayah negara India. Bidang pendidikan yang diajarkan
pada saat itu meliputi teknik membaca, menulis, aritmatika, teologi, hukum,
astronomi, metafisika, etika, ilmu kedokteran, dan agama. Sekolah-sekolah
tersebut umunya diikuti oleh perwakilan pelajar dari seluruh lapisan
masyarakat.
Sistem pendidikan India saat ini menggunakan pola dan
substansi yang diadopsi dari negara barat, di mana pertama kali diperkenalkan
oleh negara Inggris pada abad ke-19 yang merupakan rekomendasi dari Macaulay.
Struktur tradisional tidaklah dikenal oleh pemerintahan Inggris dan struktur
demikian telah dihapuskan pada saat itu juga. Mahatma Gandhi menjelaskan bahwa
sistem pendidikan tradisional merupakan suatu pohon ilmu yang sangat indah,
namun telah dihancurkan selama berkuasanya Inggris di negara tersebut. Sejarah
mencatat bahwa universitas kedokteran pertama di negara bagian Kerala dimulai
di Calicut pada tahun 1942-1943 pada masa perang dunia kedua. Dikarenakan
kurangnya dokter untuk dapat diabdikan pada tugas militer, Pemerintah Inggris
memutuskan untuk membuka cabang Universitas Kedokteran Madras di Malabar yang
kemudian berada di bawah Kepresidenan Madras. Setelah berakhirnya perang,
universitas kedokteran di Calicut ditutup dan para pelajar tersebut melanjutkan
studinya di Universitas Kedokteran Madras.
Dalam kurun waktu 1979-80, Pemerintah India melalui
Departemen Pendidikan meluncurkan suatu program bernama Non-Formal
Education (NFE) untuk anak-anak berumur kelompok 6 hingga 14 tahun yang
tidak dapat bergabung dalam sekolah reguler. Anak-anak ini termasuk mereka yang
putus sekolah, anak yang sedang bekerja, anak-anak dari area yang tidak
terdapat akses untuk sekolah, dan sebagainya. Fokus utama dari pola ini
ditujukan untuk sepuluh negara bagian yang memilik pendidikan terbelakang..
Selanjutnya, program ini diteruskan untuk daerah pedalaman termasuk daerah
perbukitan, pedesaan, dan gurun di negara-negara bagian lainnya. Hingga kini
program tersebut masih berlangsung di 25 negara bagian. 100% perbantuan
diberikan kepada organisasi sosial secara sukarela untuk menjalankan pusat NFE
tersebut.
Adapun kebijakan di India yaitu Kebijakan Nasional Pendidikan 1986 merupakan satu dari beberapa
langkah maju yang dilakukan melalui penyediaan pendidikan dasar dan rekomendasi
atas pendidikan gratis dan wajib dalam rangka pemenuhan kualitas bagi seluruh
anak hingga berumur 14 tahun sebelum abad ke-21. Tujuan dari universalisasi
pendidikan dasar bersumber pada tiga aspek: Petama, akses dan pendaftaran
secara universal; Kedua, daya ingat yang universal dari anak hingga umur empat
belas tahun; dan Ketiga, membawa peningkatan substansial kualitas pendidikan
yang memungkinkan seluruh anak untuk mencapai tingkatan yang esensial dalam
belajar. Kebijakan pemerintah yaitu untuk memotivasi anak agar menghadiri kelas
secara reguler dan untuk meningkatkan fasilitas dalam sistem persekolahan,
menyediakan pelatihan untuk guru, dan meningkatkan kemahiran belajar dari anak;
serta melaksankan pendidikan wajib dengan langkah-langkah yang mempunyai
sanksi.
Upaya lainnya terhadap pemenuhan pendidikan gratis yaitu
melalui Pemerintah Negara Bagian, yang telah secara aktif menghapuskan biaya
sekolah pada Sekolah Negeri hingga sekolah dasar tingkat atas. Usaha-usaha juga
telah dilaksanakan oleh badan-badan lokal dan institusi donor swasta untuk menjadikan
pendidikan benar-benar gratis dalam segala hal.
Dalam perkara Coomon cause v. Union of
India (Perkara No. 697 Tahun 1993), Pemohon menuntut kepada Pengadilan
untuk meminta Pemerintah menyediakan segala fasilitas demi pencapaian target
universal, pendidikan gratis dan wajib untuk anak hingga berumur empat belas
tahun, paling lambat di akhir tahun 1999. Setelah mendengarkan keterangan para
pihak, Hakim yang bersangkutan menolak untuk mengabulkan permohonan Pemohon dan
menyarakan kepadanya untuk menarik kembali permohonan tersebut.
Peluang untuk mengesahkan suatu undang-undang mengenai
pendidikan gratis dan wajib serta implikasi dalam penerapannya telah dibahas
dan menjadi diskursus yang sangat menarik selama sekian tahun. Setelah
dilakukan analisa mendalam oleh berbagai ahli, wajib pendidikan dasar juga
disadari akan membawa dampak positif terhadap penghapusan buruh anak.
Perkembangan setiap negara maju, dan kini diikuti oleh
negara berkembang, mereka telah mendeklarasikan bahwa seluruh anak yang berumur
enam hingga duabelas atau empatbelas tahun harus mengenyam pendidikan sekolah
dasar. Terlepas dari seberapa besar kebutuhannya, tidak ada satu orang tua pun
yang diizinkan untuk memutus pendidikan anak dari sekolah. Bahkan, sekolah yang
dihadirinya akan dipantau oleh badan otoritas lokal dan pemerintahnya akan
diwajibkan untuk menyediakan sekolah dasar dalam jarak yang wajar untuk seluruh
anak dalam usia sekolah. Oleh karenanya, undang-undang yang dibuat memuat
kewajiban secara spesifik bagi anak, orang tua, badan-badan lokal, dan
pemerintah. Pegawai lokal, para pengajar, dewan pengurus sekolah dapat
mengunjungi rumah orang tua sang murid yang telah memindahkan anaknya dari
sekolah guna memberitahukan bahwa menghadiri kelas adalah wajib. Dalam waktu beberapa
tahun implementasi norma tersebut telah menyadarkan seluruh negeri India bahwa
seluruh anak harus datang ke sekolah. Suatu norma seperti ini dapat lebih
dilaksanakan oleh berbagai tekanan masyarakat dibandingkan tekanan oleh badan
yang berwenang. Salah satu pandangan yang menguatkan ketentuan tersebut bahwa
kebijakan ini merupakan ekspresi dari “political will” dan hal
tersebut mengirimkan pesan kuat kepada masyarakat internasional bahwa India
sangat serius dalam menghapuskan buruh anak.
Terdapat juga satu pemikiran lain yang meyakini bahwa
ketentuan hukum dengan menyediakan pendidikan wajib mungkin bukan suatu solusi
yang efektif untuk situasi dan keadaan di negara India. Pengalaman dari negara
Afrika menunjukan bahwa legislasi seperti wajib sekolah seharusnya tidak
diperkenalkan, hal mana terdapat tempat-tempat di mana anak ingin terdaftar di
dalamnya tetapi mereka tidak dapat diterima karena minimnya infrastruktur dan
ketersediaan ruangan. Negara-negara bagian di India yang hampir mendekati
target universalisasi pendidikan dasar seperti di Kerala dan Tamil Nadu, legislasi akan
dapat membantu mereka yang keluar dari sekolah. Pemikiran seperti ini
memberikan argumen bahwa sangatlah penting untuk tidak hanya meningkatkan
anggaran umum pada dunia pendidikan tetapi juga memperkenalkan cara-cara untuk
mengurangi pembiayaan sekolah. Walaupun hal tersebut merupakan solusi yang
parsial, menurut mereka, hal itu lebih penting untuk kepentingan orang tua yang
mungkin merasakan bahwa kesempatan dan biaya sekolah masihlah sangat tinggi.
Hal ini secara esensial dapat dilihat sebagai permasalahan sikap, yaitu sikap
dari orang tua terhadap pendidikan anak-anak mereka, sikap negara terhadap
buruh anak dan terhadap peningkatan kualitas sistem pendidikan. Suatu legislasi
tidak dapat dengan sendirinya ditegakkan.Langkah-langkah kuat dalam hal penegakkan
juga harus didirikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa
kesimpulan mengenai system pendidikan yang berlaku di masa Dinasti Han.
Pemerintahan Dinasti Han telah membawa perubahan besar, dengan membawa kembali
ajaran-ajaran confusius dalam kehidupan masyarakat Cina. Kebijakan tersebut
membawa dampak perubahan ke arah yang baik dalam segala segi, khususnya
pendidikan. Ajaran konfusius yang sangat mementingkan pendidikan dan masyarakat
Cina yang sangat erat dengan ajaran-ajaran konfusius dalam menjalankan kehidupn
sehari-harinya, membuat pendidikan mendapatkan peranan penting dalam kehidupan
masyarakat Cina. ajaran konfusius mengharuskan kepada pengikutnya untuk
menuntut ilmu sampai kematian menjemputnya. Hal tersebut membuat masyarakat
Cina, khususnya pada masa Dinasti Han sangat banyak yang menuntut ilmu, dan ditambah
dengan keistimewaan-keistimewaan yang ditawarkan pihak pemerintah terhadap
lulusan dari system ujian yang diterapkan.
System pendidikan yang diterapkan oleh pihak
pemerintahan pada saat itu pada awalnya bertujuan untuk mencari calon-calon
pejabat pemerintahan yang beraliran konfusius. Jenjang pendidikan didasarkan
atas tingkatan daerah administrative pemerintahan. Setiap distrik memiliki
sekolah-sekolah, sampai pada akademi di ibukota kerajaan. Setiap jenjang
tersebut diharuskan melewati system ujian yang terbagi ke dalam tiga tahapan.
System ujian ini dinilai sangat berat, dikarebakan dari banyak orang yang ikut
ujian ini hanya beberapa yang berhasil lulus. Kekaisaran dinasti han telah
memberikan dasar-daar pada system ujian di daratan Cina, walaupun selanjutnya
ada perubahan dan penambahan.
Materi-materi pelajaran yang diajarkan dalam proses
belajar mengajar yaitu berasal dari isi kitab konfusius. Dalam kitab konfusius
ini berisikan cerita-cerita dalam bentuk sastra, yang didalamnya terdapat ilmu
sastra, ilmu strategi perang, ilmu pasti, ilmu hukum, dan sebagainya. Para
murid diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut dan mengembangkannya
sendiri dalam bentuk puisi (I Djumhur, : 14).
Dari gambar yang tertera (Lampiran 1) dapat diketahui metode mengajar yang digunakan para guru dalam menyampaikan bahan materi pelajaran. Para murid berkumpul mengelilingi guru yang sedang menyampaikan isi dari kitab konfusius tersebut. Setetah disampaikan kepada para murid, mereka diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 125). Jadi dari gambar dan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa metode mengajar yang digunakan oleh guru pada saat itu ialah metode ekspositori (ceramah).
Dari gambar yang tertera (Lampiran 1) dapat diketahui metode mengajar yang digunakan para guru dalam menyampaikan bahan materi pelajaran. Para murid berkumpul mengelilingi guru yang sedang menyampaikan isi dari kitab konfusius tersebut. Setetah disampaikan kepada para murid, mereka diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 125). Jadi dari gambar dan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa metode mengajar yang digunakan oleh guru pada saat itu ialah metode ekspositori (ceramah).
B.
Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis
berharap makalah ini bisa jadi referensi untuk pengetahuan tentang sejarah
pendidikan, khususny6a di India dan China.
DAFTAR
PUSTAKA
H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak.
1951. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia I: India Tiongkok dan Djepang
Indonesia. Jakarta: J.B. Wolters – Groningen
Muhammad Said dan Junimar Affan. 1987. Mendidik Dari Zaman
ke Zaman. Bandung: Jemmars
Raymond Dawson. 1999. Kong Hu Cu. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Rochiati Wiriaatmadja. 2000. Diktat C Sejarah Asia Timur. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah, FPIPS, UPI.
Rochiati Wiriaatmadja. 2000. Diktat C Sejarah Asia Timur. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah, FPIPS, UPI.
__________________. 2003. Sejarah Peradaban Cina:
Analisis Filosofis Historis dan Sosio Antropologis. Bandung: Humaniora.
Langganan:
Postingan (Atom)