Jumat, 07 Desember 2012




MAKALAH
KRITIK SASTRA
(PENILAIAN KARYA SASTRA, ANALISIS KARYA SASTRA
DAN PENERAPANNYA)


OLEH

BAU RANA





SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH BULUKUMBA
2012



KATA PENGANTAR
Tiada kata yang patut kita ucapkan selain Alhamdulillah, atas segala nikmat dan hidayah yang tak henti-hentinya Allah SWT berikan kepada penyusun, puji syukur hanya bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan sedikit ilmu-NYA kepada ummat manusia. Salawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa sedikit ilmu Allah dan memberi contoh bagaimana mengamalkan ilmu itu, yang telah menghamparkan permadani yang indah dan menggulung tikar-tikar kebatilan, kemudian semoga terlimpahkan pula keselamatan bagi keluarga dan sahabat Nabi.
            Dalam penyusunan makalah ini, penyusun pastinya menemui banyak hambatan dan kesulitan. Namun, berkat semangat dan bantuan serta dukungan dari semua pihak, hambatan dan kesulitan itu bisa teratasi. Penyusunan makalah ini sebagai tugas kelompok  pada mata kuliah “Kritik Sastra”. Penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan dan penyelesaian makalah ini.
Bulukumba,   November 2012


Tema Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................            i
KATA PENGANTAR..............................................................................            ii
DAFTAR ISI............................................................................................             iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................          1
A.     Latar Belakang................................................................................            1
B.    Rumusan Masalah..........................................................................           2
C.    Tujuan Penulisan............................................................................           2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................           3
A.      Penilaian Karya Sastra...................................................................           3
B.       Analisis Karya Sastra dan Penerapan Nilai..................................       5
BAB III PENUTUP..................................................................................            11
A.     Simpulan.........................................................................................              11           
B.    Saran................................................................................................             11
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................           12


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Untuk melihat adanya kebaruan atau inovasi dalam karya yang bersangkutan, tidak dapat lain, kita mesti mencermati semua unsur intrinsik yang melekat dalam karya tersebut. Dalam hal ini, acuan untuk menentukannya bukan pada tema karya bersangkutan, melain-kan pada semua unsur intrinsik yang terdapat pada karya-karya yang terbit sebelumnya. Sebagai contoh, apakah tema novel Sitti Nurbaya (1922) atau Salah Asuhan (1928) memperlihatkan kebaruannya atau tidak? Untuk memperoleh jawabannya, maka kita harus melihat dahulu karya yang terbit sebelumnya; Azab dan Sengsara (1920) misalnya.
Ketika seorang pembaca berhadapan dengan karya sastra, apakah ia dapat lang-sung mengatakan bahwa karya itu baik atau tidak? Tentu saja penilaian dengan cara demikian tidak objektif . Pertama-tama yang harus dilakukan adalah membaca karya itu dahulu. Jika sudah kita cermati benar, barulah kita dapat memberi penilaian atas karya yang bersangkutan.
Untuk menghasilkan penilaian yang objektif dapat dipertanggungjawabkan, tentu saja cara penilaian yang seperti itu tidaklah tepat. Bahkan terkesan sangat subjektif. Pe-nilaian demikian jelas sangat bergantung pada kesan dan sikap suka atau tidak suka. Ia akan menghasilkan penilaian yang relatif, karena sangat ditentukan oleh subjektivitas pem-baca. Jika demikian, dasar apa yang dapat kita gunakan untuk menentukan sebuah karya sastra dikatakan baik atau buruk, berhasil atau tidak? Kriteria apa yang kita gunakan untuk menentukannya, sehingga ada genre sastra garda depan (avant garde), sastra serius, dan sastra populer.
Demikianlah untuk menentukan sebuah karya berhasil atau tidak, kita mesti memi-sahkannya dahulu dari nama pengarangnya. Oleh karena itu, kita mesti menjawabnya ber-dasarkan karyanya itu sendiri dan bukan karena pengarangnya atau latar belakang diri pengarang bersangkutan.
B.    Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalahnya yaitu, “Bagaimanakah penilaian, analisis dan penerapan dalam suatu karya sastra?”
C.    Tujuan Penulisan
Dengan melihat rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisannya adalah “Untuk mengetahui penilaian, analisis dan penerapan dalam suatu karya sastra”.









BAB II
PEMBAHASAN
A.     PENILAIAN KARYA SASTRA
Karya sastra sebagai karya seni memerlukan pertimbangan,, memerlukan penilaian akan seninya. Sejauh manakah nilai seni suatu karya sastra; atau mengapakan suatu karya sastra dikatakan mempunyai nilai seni, atau mengapa karya sastra dikatakan indah.
Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan kegunaannya, kekurang pahaman tentang penilaian seringkali menimbulkan kesesatan dan penilaian yang tidak tepat. Sering hal ini menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat dan guna (fungsi) karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra sebagai karya seni, hanya menjadi alat propaganda, yang nilainya sama dengan teks pidato.
Aoh Kartahadimadja (Pradopo, 1994: 31) menyatakan pendapatnya tentang batas untuk menentukan baik dan buruknya suatu sajak, cukuplah bagi si pendengar atau peninjau untuk menerimanya. Berdasarkan kutipan tersebut, Aoh tidak menganalisis hubungan nilai, hakikat sastra, dan fungsi seni sastra hingga jawabnya sangat subjektif dan tidak jelas. Sebab itu, betapa pentingnya dalam menilai karya sastra untuk mengetahui hubungan nilai, hakikat, dan fungsi. Rene Wellek (Pradopo, 1994: 31) menyetakan pentingnya hubungan hakikat, fungsi, dan penilaian karya sastra, yaitu: “Bagaimana orang menilai dan menentukan nilai sastra? Harus kita jawab dengan definisi-definisi. Seharusnya orang menilai karya sastra seperti adanya dan menaksir nilai itu menurut kadar sastra, hakikat sastra, fungsi dan penilaian erat hubungannya”.
Ada banyak batasan tentang hakikat kesusastraan, Zuber Usman (Pradopo, 1994: 33) kesusastraan adalah hasil pekerjaan pengarang dan penyair; Suparlan mendefinisikan kesusastraan adalah kesenian suatu bangsa dalam melahirkan pikiraan, perasaan, dan kemauan dengan bahasa.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka disimpulkan hakikat kesusastraan adalah hasil karya penyair yang bersifat imaginatif dan estetika.
Hakikat fungsi karya sastra yaitu menyenangkan dan berguna yang bersifat objektif terpancar dari karya sastra itu sendiri. Kedua fungsi sifat ini hadir bersamaan dan tidak dapat dipsahkan karna meskipun pengungkapannya menyenangkan, tetapi bila diungkapkan itu hanya hal yang remeh maka tidak ada gunanya. Sebaliknya, bila diungkapkan adalah pengalaman besar tetapi diungkapkan dengan cara yang buruk maka orang tidak tertarik terhadap karyanya.
Seni sastra menyenangkan dan seimbang karna hakikatnya sendiri, seni sastra menyenangkan karna sifatnya seimbang, berirama, kata-kata menarik hati, mengharukan, mengandung ketegangan, dan sebaliknya. Sifat yang demikianla yang memikat para penikmat sastra. Karya sastra yang kian banyak memberikan kesenangan dan kian banyak memberikan kegunaan maka kian tinggi mutunya.
Dalam menilai karya sastra berdasarkan fungsinya, haruslah menggunakan kriterian hakikat, sedang fungsi lain diluar diluar hakikat tersebut jatuh pada kriterian kedua bisa masih menginginkan penilaian karya sastra sebagai karya seni. Pada dasarnya ada tiga paham tentang penilaian yang penting, yaitu relativisme, absolutisme, dan perspektivisme.
Relativisme adalah paham penilaian yang menhendaki tidak adanya penilaian lagi, atau penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra. Bila suatu karya dianggap bernilai oleh masyarakat pada zaman tertentu, maka karya sastra tersebut haruslah dianggap bernilai pada zaman dan tempat lain.
Penilaian Absolutisme ini menilai karya sastra berdasarkan paham-paham, aliran-aliran, politik, moral, ataupun berdasar ukuran-ukuran tertentu yang sifatnya dogmatis dan berdasarkan pandangan yang sempit sehingga dengan demikian sifat penilaian tidak berdasarkan pada metode literer, tidak berdasarkan pada hakikat seni itu sendiri.
Kesimpulan dari uraian tersebut bahwa dalam menilai karya sastra haruslah mengingat karya sastra sebagai karya seni yang bersifat  imaginatif dan bersifat seni.

B.    ANALISIS KARYA SASTRA DAN PENERAPAN NILAI
Dalam pembicaraan dan analisis serta penerapan nilai karya sastra ini, kita mengambil contoh-contoh sajak, berdasar pada kenyataan bahwa puisi unsur-unsurnya lebih lengkap dan padat daripada prosa, seperti bunyi, irama, pembagian irama, pemilihan kata-kata, kombinasi kata, bahasa kiasan, dan gaya bahasa. Seperti dikemukakan Subagio Sastrowardojo dalam prasarannya di Semarang: “Puisi adalah inti pernyataan sastra. Demikianlah menurut sejarah dan hakekatnya. Menurut sejarahnya, pernyataan sastra pada semua bangsa dimulai dengan puisi, bahkan pada permulaan masa perkembangan itu, satu-satunya pernyataan sastra yang dipandang kesusastraan ialah puisi.
Juga di zaman modern, setelah bentuk prosa mendapat pengakuan sebagai kemungkinan pernyataan yang lain, puisi tetap menempati kedudukan yang sentral dalam kesusastraan memokokkan perhatiannya puisi. Saya kira keadaan ini disebabkan oleh hakikat puisi itu sendiri.
Menurut hakikatnya, ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi. Di dalam puisi terhimpun dan mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Di dalam puisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra, yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai oleh prosa.”
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut. Artinya, kritik sastra yang sederhana sekalipun hendaknya sampai pada penilaian yang argumentative tentang baik buruknya karya sastra tertentu. Penilaian karya sastra merupakan tujuan kritikus yang harus bekerja dengan kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu. Dalam pelaksanaannya terbilang rumit karena masalah tersebut bukan hanya bersifat teoretis, melainkan sekaligus terapan. Artinya kritikus harus memahami sejumlah teori sastra, kemudian dapat memilih secara tepat suatu teori yang akan diterapkan dalam karya sastra tertentu, dan pada akhirnya harus dapat menjelaskan hasil analisisnya kepada masyarakat. 
Menurut Rene Wellek puisi (karya sastra adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman, bukan jumlah pengalaman. Pengalaman seseorang itu pada waktu membaca puisi, hanyalah pelaksanaan sebagian kemungkinan yang dapat ditangkap dari puisi yang sedang dibacanya. Jadi, sebenanrnya ialah struktur norma-norma yang hanya sebagian saja dilaksanakan menjadi pengalaman-pegalaman masing-masing pembaca. Setiap pengalaman pembaca, misalnya membaca, deklamasi, dan sebagainya, adalah hanya usaha menangkap rangkaian norma-norma sastra itu. Karya sastra tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa lapis (strata) norma. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk (1931) dengan metode phenomenologi Edmond Husserl, menganalisis norma-norma itu:
1. Lapis suara (sound statum) dasar timbulnya.
2. Lapis arti (units of meaning) Masing-masing kata tergabung menjadi kesatuan di dalam konteks, syntagma, pola kalimat. Dari stuktur sintaksis ini timbul.
3. Lapis objek yang dikemukakan “dunia pengarang”, pelaku, tempat (setting).
Roman Indgarden menambahkan dua strata lagi yang sesungguhnya menurut Rene Wellek dapat dimasukkan atau tak usah dipisahkan dengan lapis ketiga (lapis dunia pengarang).
4. Lapis “dunia yang dilihat dari suatu titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung didalamnya (implied),
5. Stratum metafisika, lapis ini memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan sifat mulia, tragis, mengerikan, dan suci. Lapis ini tak selalu terdapat dalam karya sastra.
Setelah karya sastra itu dinilai berdasarkan norma-normanya, barulah dapat disimpulkan bahwa suatu karya sastra bernilai seni, kurang bernilai, atau tidak bernilai.
Contoh puisi yang akan dianalisis adalah “Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang”, karya W. S. Rendra.
Doa Serdadu Sebelum Perang

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara
,

Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
,
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

(W.S Rendra dalam Pradopo, 94: 80)

       Pada sajak diatas, tingkat anorgansi sudah dapat dicapai, seperti pembagian baris sajak dan bait yang sesuai dengan pembagian isi pikiran, enjabement (perloncatan baris sajak), dan pola persajakan. Di samping itu, ungkapan yang puitis disebabkan keplastisan dan sugestifsebagai berikut.
       Wajah-Mu membayang di kota trebakar, yang memberi sugiesti adanya yang menghancurkan kota, ungkapan itu lebih kongkret dibandingkan: di kota perang. Ribuan kuburan yang dangkal,  memberikan sugiesti bahwa dalam peramng banyak nyawa yang hilang sia-sia, yang hanya dikubur dengan dangkal atau mati dengan alasan sederhana tanpa arti.
       Dalam sajak tersebut penyair menggunakan lambang-lambang yang sugiestif, konotatif, dan memberi kejelasan hingga dapat mengungkapkan pengalaman jiwanya. Dalam sajak ini pengarang juga mengungkapkan majas-majas paradoks yang mengharukan karena sangat tepat, menunjukkan prtentangan arti, yang menimbulkan ketragisan, dapat mendramatisir peristiwa tersebut kehadapan mata kita.
     Dalam menilai karya sastra haruslah dilihat hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya, mengingat bahwa karya sastra penjilmaan jiwa sastrawan ke dalam suatu karya sastra dengan medium bahasa. Sehingga dalam menilai karya sastra haruslah dilihat berhasil atau tidaknya sastrawan menjilmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata. Namun, jika pengalaman jiwa itu dapat dijilmakan ke dalam kata, karya sastra itu tak mempunyai nilai tinggi jika pengalaman jiwanya itu hanya sederhana, sedikit, atau tidak lengkap, dan tidak meliputi keutuhan jiwa.
Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia itu terdiri dari lima tingkatan , begitu juga pengalaman jiwa terdiri dari lima tingkatan atau niveaux.
Tingkatan pertama: niveau anorganis, yaitu tingkatan jiwa yang terendah, yang sifatnya seperti benda mati, mempunyai ukuran, tinggi, rendah, panjang, dalam, dapat diraba, didengar, pendeknya dapat diindera. Bila tingkatan ini terjilma dalam karya sastra, berupa pola bunyi, irama, baris sajak, alinea, kalimat, perumpamaan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Tingkatan kedua: nivea vegetatif, yaitu tingkatan seperti tumbuh-tumbuhan, seperti pohon mengeluarkan bunga, mengeluarkan daunnya yang muda, gugur daunn dan sebagainya. Segala pergantian itu menimbulkan bermacam-macam suasan. Misalnya bila musim bunga suasana yang dimbulkan adalah romantis, menyenangkan, menggembirakan. Bila musim gugur menimbulkan suasana tertekan, menyedihkan, dan keputusasaan.
Tingkatan yang ketiga: niveau animal, yaitu tingkatan seperti yang dicapai binatang, yaitu sudah ada nafsu-nafsu jasmaniah. Dalam kata atau karya sastra maka tingkatan ini berupa hasrat untuk makan, minum, nafsu seksual, nafsu untuk membunuh dan sebagainya.
Tingkatan yang keempat: niveau human, yaitu tingkatan jiwa yang hanya dapat dicapai oleh manusia, berupa perasaan belas kasihan, dapat membedakan baik buruk, berjiwa gotong royong, saling membantu dan sebagainya.
       Berdasarkan uraian-uraian diatas, pengalaman jiwa itu yang menjadi dasar terjelmanya kedalam kata. Dalam sajak, penyair dapat mengungkapkan pengalaman jiwanya kedalam kata berupa gambaran kongkret dengan perang bencana yang ditimbulkan. Dengan demikian sajak “Doa seorang serdadu sebelum perang” dapat memenuhi kriteria puisi yang bernilai seni, beberan (pengekspresian) indah dan besar muatannya. Begitupun jika dinilai dari sudut keasliannya serta daya kreativitasnya, sajak ini bukan jiplakan serta mengandung daya cipta karena pengungkapannya asli, berwatak sendiri, dan memberikan dunia khusus yaitu dunia penyair.














BAB III
PENUTUP
A.     Simpulan
       Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan kegunaannya, kekurang pahaman tentang penilaian seringkali menimbulkan kesesatan dan penilaian yang tidak tepat. Sering hal ini menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat dan guna (fungsi) karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra sebagai karya seni, hanya menjadi alat propaganda, yang nilainya sama dengan teks pidato.
     Hakikat fungsi karya sastra yaitu menyenangkan dan berguna yang bersifat objektif terpancar dari karya sastra itu sendiri. Kedua fungsi sifat ini hadir bersamaan dan tidak dapat dipsahkan karna meskipun pengungkapannya menyenangkan, tetapi bila diungkapkan itu hanya hal yang remeh maka tidak ada gunanya. Sebaliknya, bila diungkapkan adalah pengalaman besar tetapi diungkapkan dengan cara yang buruk maka orang tidak tertarik terhadap karyanya.
       Menurut hakikatnya, ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi. Di dalam puisi terhimpun dan mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Di dalam puisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra, yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai oleh prosa.”
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut
B.    Saran
       Dalam penulisan makalah ini, penulis berharap makalah ini dapat dijadikan referensi, terkhusus bagi mahasiswa yang memilih jurusan bahasa da Sastra Indonesia sebagai calon guru kedepannya. Semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
       Mahayana, Maman S. Kriteria penilaian dalam kritik Sastra.                   . Depok.







MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN
DI CHINA DAN INDIA






OLEH
BAU RANA









SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH BULUKUMBAA
2012



KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Tiada kata yang patut kita ucapkan selaain Puja dan Puji syukur atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Perkembangan Pendidikan di China dan India”. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan yang berarti dan berguna bagi pembaca sekalian. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi materi yang disajikan maupun dari struktur bahasa yang digunakan, itu semua tidak lain disebabkan oleh keterbatasan yang penulis miliki, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan koreksi yang membangun dari para pembaca. Akhir kata mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

                                                                                                 Team Penyususn


Bulukumba,  November 2012






DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................    i
KATA PENGANTAR.........................................................................................    ii
DAFTAR ISI........................................................................................................     iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................  1           
A.    Latar belakang.........................................................................................     1
B.     Tujuan...................................................................................................... 2
C.    Rumusan masalah................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................     3
A.    Filsafat Pendidikan China Secara Garis Besar.................................... 3
B.     Sistem Pendidikan pada Dinasti Han.................................................... 4
C.    Perkembangan Pendidikan di India...................................................... 7
BAB III PENUTUP.............................................................................................     12
A.    Simpulan...................................................................................................     12
B.     Saran.........................................................................................................     13
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................    14



BAB
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ada sebuah hadist mengenai pendidikan, yang dalam bahasa Indonesia berbunyi: “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Dalam hadist ini muncul satu negara, yaitu negeri Cina. Dari hadist ini timbul pertanyaan, ada apa dengan pendidikan cina sehingga dapat dijadikan panutan untuk negeri lain. Dalam buku Muhammad Said dan Junimar Affan (1987: 119) yang berjudul Mendidik Dari Zaman ke Zaman dikatakan bahwa: “Di negeri Cina pendidikan mendapat tempat yang penting sekali dalam penghidupan”. Dengan mendapatkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, membuat sistem pendidikan di Cina meningkat.
Sikap orang Cina yang mementingkan pendidikan di dalam kehidupannya telah melahirkan sebuah filofis orang Cina mengenai pendidikan dan pendidikan ini telah lama menjaga kekuasaan Cina berapa lama, sampai pada masuknya bangsa asing ke Cina yang akan merubah wajah sistem pendidikan kuno di Cina. Tetapi, pada kesempatan ini tidak menjelaskan sampai masuknya bangsa asing ke Cina. Permulaan pendidikan Cina kuno mencampai puncak dimulai pada Dinasti Han, dimana ajaran Kung fu Tse kembali lagi diangkat dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat Cina, yang sebelumnya ajaran ini dibrangus oleh penguasa sebelumnya.
Masyarakat Cina yang menganggap pendidikan sejalan dengan filsafat, bahkan menjadi alat bagi filsafat, yang mengutamakan etika (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 119). Anggapan ini membuat pendidikan di Cina mengiringi kembalinya popularitas aliran filsafat Kung Fu Tse di dalam masyarakat Cina.
Pada masa Dinasti Han banyak melahirkan para sarjana-sarjana yang kelak akan memimpin negara dan telah membuat Dinasti Han sebagai salah satu dinasti yang besar dalam sejarah Cina
.
Sementara India memiliki luas daerah 3.287.263 km persegi. Negara ini tercatat sebagai negara terluas ketujuh dan terpadat kedua di dunia setelah Cina. Mayoritas penduduknya beragama Hindu (83%). Adapun yang beragama Islam berjumlah 12%, Kristen, Siktis dan lainnya.
Ekonomi India mengandalkan sektor pertanian dan peternakan mencapai 34% dari pendapatan negara. Sektor pertanian sendiri mampu menyerap 69% tenaga kerja yang ada. Umumnya ekonomi India dipengaruhi oleh perubahan land reform, revolusi hijau, industrialisasi dan migrasi. Industri perfilm-an India tergolong besar dan sanggup merekrut banyak tenaga kerja. Bollywood merupakan contoh kongkritnya, dengan model dan alur cerita dalam film yang diiringi dengan nyanyian dan tarian tersebut selain mendatangkan profit juga melestarikan seni dan budaya lokal.
India merupakan salah satu kawasan Asia Selatan yang memiliki kemegahan kebudayaan yang megah di dunia yang menyaingi Cina dalam kesusasteraan, seni dan arsitektur. Perasaan nasionalis India mulai berkembang setelah timbul rasa bangga atas hasil-hasil kebudayaan mereka yang dipelajari dan kemudian dialih bahasakan oleh sarjana-sarjana asing ke dalam bahasa-bahasa barat.
B. Rumusan Masalah
            Dengan melihat latar belakang yanag ada di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah “Bagaimana perkembangan pendidikan di China dan India”.
C. Tujuan Penulisan
            Dengan melihat rumusan masalah yang ada di atas, maka tujuan penulisan dalam makalah ini adalah “Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan di China dan di India”.





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Filsafat Pendidikan Cina Secara Garis Besar
Dinasti Han tahun 206 SM – 220 M merupakan dinasti kekaisaran besar pertama didalam perjalanan sejarah kekaisaran Cina. Pada masa ini banyak literature lama yang dikumpulkan dan diperbaiki kembali. Hal tersebut dikarenakan pada masa pemerintahan sebelumnya ajaran-ajaran kong hu cu diberantas habis. Pada masa ini Confusianisme menjadi falsafah terkemuka dan menjadi inti bagi sistem pendidikan (Raymond Dawson, 1999: xv). Pada masa Dinasti Han ini yang menjadi dasar masyarakat Tionghoa, ialah pengajaran counfusius (H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak, 1951: 186).
Pada negeri Cina pendidikan mendapat tempat yang penting sekali dalam penghidupan (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 119). Hal tersebut dikarenakan masyarakat Cina menganggap pendidikan sejalan dengan filsafat, bahkan menjadi alat bagi filsafat, yang mengutamakan etika (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 119). Anggapan ini membuat pendidikan di Cina mengiringi kembalinya popularitas aliran filsafat Kung Fu Tse di dalam masyarakat Cina.
Anggapan tersebut muncul dari ajaran-ajaran Confusianisme yang mulai mendapatkan tempat kembali di hati rakyat Cina, yang ditandai dengan munculnya Dinasti Han sebagai penguasa. Ajaran-ajaran tersebut mengajarkan bahwa pendidikan tersebut penting.
Seperti yang ditanamakan Hsun Tzu, “Belajar terus sampai mati dan hanya kematianlah yang menghentikannya” (H. 19). Belajar adalah pekerjaan sepanjang hayat, dan jabatan yang tinggi mungkin merupakan ganjarannya. Cina telah memberikan status pada kegiatan belajar lebih dari masyarakat mana pun (Raymond Dawson, 1999: 16)
Dalam membicarakan mengenai falsafah pendidikan Cina, tidak dapat dijauhkan dari pembicaraan mengenai ajaran Confusianisme. Seperti yang diutarakan di atas, bahwa ajaran confusianisme memberikan dasar-dasar dan sumbangan-sumbangan dalam sistem pendidikan Cina, khususnya pada masa Dinasti Han ini. Dalam ajaran confusianisme, pendidikan adalah mesin yang mengemudi dunia kebenaran… menuntut pendidikan dikejar secara terus menerus sampai kematian.
Pernyataan-pernyataan yang dinilai mementingkan pendidikan tersebut dan diperkuat dengan ajaran kong hu cu yang dianggap sebagai agama bagi masyarakat Cina, dimana masyarakat Cina sangat kuat dalam memeluk ajaran tersebut, sehingga membuat pendidikan memiliki sisi yang penting dalam kehidupan masyarakat Cina. anggapan pentingnya pendidikan tersebut meberikan dampak yang sangat berpengaruh dalam sistem masyarakat Cina, sehingga segala aspek yang berhubungan dengan pendidikan mendapatkan tempat-tempat istimewa.
Ajaran confusianisme yang mulai muncul kembali dan berkembang pesat pada masa dinasti Han, serta ajaran ini menjadi dasar kepercayaan membuat pemerintahan tersebut menjalankan ajaran-ajaran didalamnya secara benar. Ajaran yang sangat memberikan perhatian besar terhadap pendidikan, membuat pemerintahan Dinasti Han membentuk sebuah system pendidikan yang didasari atas pemikiran dari ajaran confusianisme.

B. Sistem Pendidikan Pada Dinasti Han
Pada awal pemerintahan Dinasti Han, Kaisar Wu-ti menggunakan ajaran-ajaran konfusius dan memakai para pengikut-pengikutnya sebagai pejabat-pejabat pemerintahan dalam menjalankan pemerintahan. Pejabat-pejabat yang berasal dari pengikut-pengikut konfusius ini didapakan melalui sebuah system ujian yang ketat.
Pada masa Dinasti Han sudah terdapat sebuah system pendidikan yang ketat, untuk tujuan mendapatkan pejabat-pejabat kerajaan yang berkualitas. Para pelajar yang menginginkan untuk menjadi pegawai kerajaan tidak dipandang asal golongannya, asal ia dapat melawati tahapan-tahapan ujian yang sudah ditetapkan oleh kekaisaran. Hal tersebut dikarenakan ajaran konfusius tidak memperbolehkan memandang asal-usul seseorang atau pangkatnya (H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak, 1951: 186). Para pegikut-pengikut konfusius yang berada di beberapa daerah distrik mendirikan sekolah-sekolah yang bersifat informal. Disebut sekolah informal dikarenakan proses belajar mengajar yang dilakukan tidak terikat oleh tempat atau waktu. Berjalannya pendidikan di distrik ini dibantu oleh para saudagar yang memberikan sumbangan-sumbangan (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 125). Sekolah di setiap distrik ini menampung para pemuda-pemuda yang ingin menuntut ilmu sebelum mereka mengikuti tahapan-tahapan ujian penerimaan sebagai pegawai kekaisaran.
Materi-materi pelajaran yang diajarkan dalam proses belajar mengajar yaitu berasal dari isi kitab konfusius. Dalam kitab konfusius ini berisikan cerita-cerita dalam bentuk sastra, yang didalamnya terdapat ilmu sastra, ilmu strategi perang, ilmu pasti, ilmu hukum, dan sebagainya. Para murid diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut dan mengembangkannya sendiri dalam bentuk puisi (I Djumhur, : 14).
Dari gambar yang tertera (Lampiran 1) dapat diketahui metode mengajar yang digunakan para guru dalam menyampaikan bahan materi pelajaran. Para murid berkumpul mengelilingi guru yang sedang menyampaikan isi dari kitab konfusius tersebut. Setetah disampaikan kepada para murid, mereka diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 125). Jadi dari gambar dan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa metode mengajar yang digunakan oleh guru pada saat itu ialah metode ekspositori (ceramah). Penyimpulan ini dikarenakan yang dilakukakan serupa dengan metode ekspositori, dimana guru lebih aktif disini dalam mentransfer imu kepada para murid.
Setelah tahapan belajar mengajar, maka melangkah kepada tahapan evaluasi atau system ujian. System ujian yang berlaku pada masa Dinasti Han merupakan suatu hal yang unik dalam system pendidikan Cina. Pada masa itu sudah berkembang suatu system evaluasi yang sangat kompleks. Menurut Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan (2003: 144 – 145) mengatakan bahwa ujian ini dibagi ke dalam tiga tahap atau jenjang. Tiga tahap ujian tersebut antara lain:
Ujian tingkat pertama diadakan di beberapa ibukota prefektur (kabupaten). Calon pegawai yang dapat melewati ujian tahap pertama ini diberi gelar Hsui-Tsai, bila diartikan yaitu “bakat yang sedang berkembang”. Mereka mendapatkan hak istimewa seperti dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, terbebas dari hukuman badan, sehingga sangat sulit sekali untuk lolos dari tahap ini. Seorang Hsui-Tsai diharuskan tiap tahuan mengikuti ujian sebagai upaya mempertahankan gelarnya tersebut, bila tidak maka namanya akan hilang dalam daftar nama golongan pelajar. Sebelum sampai pada ujian tahapan ini, pelaksanaan ujian saringan pertama dilaksanakan di setiap distrik dari setiap prefektur.
Selanjutnya, ujian tingkat dua yakni ujian tingkat provinsi untuk mencapai gelar Chu-Jen, yakni “orang yang berhak mendapatkan pangkat”. Orang-orang yang berhak mengikuti tahapan ujian ini yaitu orang-orang yang telah mendapatkan gelar Hsui-Tsai. Para peserta ujian tidak langusng mengikuti ujian, tetapi mereka diharuskan mengikuti latihan di akademi prefektur dalam rangka menghadapi persiapan ujian Chu Jen. Ujian provinsi ini diadakan tiga tahun sekali. Mereka yang dapat lulus dari ujian ini dengan nilai tertinggi akan mendapatkan tunjangan belajar. Pada tahap akhir yaitu ujian tahap tiga yang diadakan di ibukota kerajaan. Ujian ini diadakan setiap tiga tahun sekali, dilaksanakan setahun setelah ujian provinsi. Tahapan ujian bertujuan untuk mendapatkan gelar Chih Shih, yakni “Sarjana naik pangkat”. Peserta ujian mendapatkan nilai yang tertinggi berhak mendapatkan penghormatan istimewa dan menjadi orang termasyur di kerajaan. Para lulusan dapat diangkat menjadi anggota akademi Hanlin (Hanlin Yuan), yakni dewan penasihat khusus kaisar yang beranggotakan enam orang.
Adapun materi-materi yang diujikan dalan tahapan-tahapan ujian ini, yakni menurut H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak (1951: 188) adalah isi kitab-kitab konfusius serta pengikut-pengikutnya. Hal tersebut bertujuan sebagai pembuktian bahwa mereka mengetahui isi buku tersebut dengan seksama. Untuk membuktikan hal tersebut mereka diharuskan dapat membuat karangan dan mengubah dengan dasar aturan-aturan kuno. Selain itu juga, para peserta juga diuji mata pelajaran lain, yang digolongkan ke dalam mata pelajaran tambahan.
Ujian tersebut dilaksanakan di ruang dalam bangunan-bangunan yang sangat panjang dan lurus. Bangunan panjang tersebut terdiri dari kamar-kamar kecil yang disekat (dapat dilihat dalam lampiran 2 & 3). Calon pegawai tersebut tinggal di dalam kamar selama sehari untuk ujian tahap pertama, tiga hari untuk ujian tahap kedua, dan lebih lama lagi untuk ujian tahapan ketiga (Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan, 2003: 144).
Output-output yang dikeluarkan dari system pendidikan ini disalurkan menjadi pegawai-pegawai pemerintahan dan mereka yang gagal dalam mengikuti ujian ini akan menjadi tenaga-tenaga pengajar di daerah asalnya. Dapat dikatakan bahwa kekaisaran Wu-ti-lah yang telah meletakkan dasar system ujian, seperti yang berlaku di Tiongkok itu (H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak, 1951: 187)

C. Perkembangan Pendidikan di India
India telah menjadi pijakan utama dalam nilai-nilai pembelajaran dari masa ke masa. Namun demikian, ketika negara India memiliki beberapa universitas terbaik di dunia, seperti BITS, ISB, IITs, NITs, IISc, IIMs, AIIMS, mereka masih harus mengatasi tantangan dalam pemenuhan pendidikan dasar guna mencapai angka 100% melek huruf. Pendidikan dasar dan wajib yang bersifat universal, disertai dengan tantangan untuk menjaga anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk bersekolah, serta menjaga kualitas pendidikan di daerah pedalaman, menjadi kendala terberat untuk menuntaskan target tersebut.
Hingga kini hanya negara bagian Kerala yang telah melakukan pencapaian target tersebut. Seluruh tingkat pendidikan, mulai dari tingkatan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, menjadi perhatian khusus dari Department of Higher Education dan Departement of School Education and Literacy. Pada tingkatan tersebut diberikan subsidi sangat besar oleh Pemerintah India, meskipun terdapat wacana menjadikan pendidikan tinggi untuk mencari pembiayaan sendiri secara terpisah.
Menurut catatan pemerintah Inggris, pendidikan adat yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat India telah hilang pada abad ke-18 dengan suatu pola di mana terdapat satu sekolah untuk setiap kuil, masjid atau desa yang berada hampir di seluruh wilayah negara India. Bidang pendidikan yang diajarkan pada saat itu meliputi teknik membaca, menulis, aritmatika, teologi, hukum, astronomi, metafisika, etika, ilmu kedokteran, dan agama. Sekolah-sekolah tersebut umunya diikuti oleh perwakilan pelajar dari seluruh lapisan masyarakat.
Sistem pendidikan India saat ini menggunakan pola dan substansi yang diadopsi dari negara barat, di mana pertama kali diperkenalkan oleh negara Inggris pada abad ke-19 yang merupakan rekomendasi dari Macaulay. Struktur tradisional tidaklah dikenal oleh pemerintahan Inggris dan struktur demikian telah dihapuskan pada saat itu juga. Mahatma Gandhi menjelaskan bahwa sistem pendidikan tradisional merupakan suatu pohon ilmu yang sangat indah, namun telah dihancurkan selama berkuasanya Inggris di negara tersebut. Sejarah mencatat bahwa universitas kedokteran pertama di negara bagian Kerala dimulai di Calicut pada tahun 1942-1943 pada masa perang dunia kedua. Dikarenakan kurangnya dokter untuk dapat diabdikan pada tugas militer, Pemerintah Inggris memutuskan untuk membuka cabang Universitas Kedokteran Madras di Malabar yang kemudian berada di bawah Kepresidenan Madras. Setelah berakhirnya perang, universitas kedokteran di Calicut ditutup dan para pelajar tersebut melanjutkan studinya di Universitas Kedokteran Madras.
Dalam kurun waktu 1979-80, Pemerintah India melalui Departemen Pendidikan meluncurkan suatu program bernama Non-Formal Education (NFE) untuk anak-anak berumur kelompok 6 hingga 14 tahun yang tidak dapat bergabung dalam sekolah reguler. Anak-anak ini termasuk mereka yang putus sekolah, anak yang sedang bekerja, anak-anak dari area yang tidak terdapat akses untuk sekolah, dan sebagainya. Fokus utama dari pola ini ditujukan untuk sepuluh negara bagian yang memilik pendidikan terbelakang.. Selanjutnya, program ini diteruskan untuk daerah pedalaman termasuk daerah perbukitan, pedesaan, dan gurun di negara-negara bagian lainnya. Hingga kini program tersebut masih berlangsung di 25 negara bagian. 100% perbantuan diberikan kepada organisasi sosial secara sukarela untuk menjalankan pusat NFE tersebut.
Adapun kebijakan di India yaitu Kebijakan Nasional Pendidikan 1986 merupakan satu dari beberapa langkah maju yang dilakukan melalui penyediaan pendidikan dasar dan rekomendasi atas pendidikan gratis dan wajib dalam rangka pemenuhan kualitas bagi seluruh anak hingga berumur 14 tahun sebelum abad ke-21. Tujuan dari universalisasi pendidikan dasar bersumber pada tiga aspek: Petama, akses dan pendaftaran secara universal; Kedua, daya ingat yang universal dari anak hingga umur empat belas tahun; dan Ketiga, membawa peningkatan substansial kualitas pendidikan yang memungkinkan seluruh anak untuk mencapai tingkatan yang esensial dalam belajar. Kebijakan pemerintah yaitu untuk memotivasi anak agar menghadiri kelas secara reguler dan untuk meningkatkan fasilitas dalam sistem persekolahan, menyediakan pelatihan untuk guru, dan meningkatkan kemahiran belajar dari anak; serta melaksankan pendidikan wajib dengan langkah-langkah yang mempunyai sanksi.
Upaya lainnya terhadap pemenuhan pendidikan gratis yaitu melalui Pemerintah Negara Bagian, yang telah secara aktif menghapuskan biaya sekolah pada Sekolah Negeri hingga sekolah dasar tingkat atas. Usaha-usaha juga telah dilaksanakan oleh badan-badan lokal dan institusi donor swasta untuk menjadikan pendidikan benar-benar gratis dalam segala hal.
Dalam perkara Coomon cause v. Union of India (Perkara No. 697 Tahun 1993), Pemohon menuntut kepada Pengadilan untuk meminta Pemerintah menyediakan segala fasilitas demi pencapaian target universal, pendidikan gratis dan wajib untuk anak hingga berumur empat belas tahun, paling lambat di akhir tahun 1999. Setelah mendengarkan keterangan para pihak, Hakim yang bersangkutan menolak untuk mengabulkan permohonan Pemohon dan menyarakan kepadanya untuk menarik kembali permohonan tersebut.
Peluang untuk mengesahkan suatu undang-undang mengenai pendidikan gratis dan wajib serta implikasi dalam penerapannya telah dibahas dan menjadi diskursus yang sangat menarik selama sekian tahun. Setelah dilakukan analisa mendalam oleh berbagai ahli, wajib pendidikan dasar juga disadari akan membawa dampak positif terhadap penghapusan buruh anak.
Perkembangan setiap negara maju, dan kini diikuti oleh negara berkembang, mereka telah mendeklarasikan bahwa seluruh anak yang berumur enam hingga duabelas atau empatbelas tahun harus mengenyam pendidikan sekolah dasar. Terlepas dari seberapa besar kebutuhannya, tidak ada satu orang tua pun yang diizinkan untuk memutus pendidikan anak dari sekolah. Bahkan, sekolah yang dihadirinya akan dipantau oleh badan otoritas lokal dan pemerintahnya akan diwajibkan untuk menyediakan sekolah dasar dalam jarak yang wajar untuk seluruh anak dalam usia sekolah. Oleh karenanya, undang-undang yang dibuat memuat kewajiban secara spesifik bagi anak, orang tua, badan-badan lokal, dan pemerintah. Pegawai lokal, para pengajar, dewan pengurus sekolah dapat mengunjungi rumah orang tua sang murid yang telah memindahkan anaknya dari sekolah guna memberitahukan bahwa menghadiri kelas adalah wajib. Dalam waktu beberapa tahun implementasi norma tersebut telah menyadarkan seluruh negeri India bahwa seluruh anak harus datang ke sekolah. Suatu norma seperti ini dapat lebih dilaksanakan oleh berbagai tekanan masyarakat dibandingkan tekanan oleh badan yang berwenang. Salah satu pandangan yang menguatkan ketentuan tersebut bahwa kebijakan ini merupakan ekspresi dari “political will” dan hal tersebut mengirimkan pesan kuat kepada masyarakat internasional bahwa India sangat serius dalam menghapuskan buruh anak.
Terdapat juga satu pemikiran lain yang meyakini bahwa ketentuan hukum dengan menyediakan pendidikan wajib mungkin bukan suatu solusi yang efektif untuk situasi dan keadaan di negara India. Pengalaman dari negara Afrika menunjukan bahwa legislasi seperti wajib sekolah seharusnya tidak diperkenalkan, hal mana terdapat tempat-tempat di mana anak ingin terdaftar di dalamnya tetapi mereka tidak dapat diterima karena minimnya infrastruktur dan ketersediaan ruangan. Negara-negara bagian di India yang hampir mendekati target universalisasi pendidikan dasar seperti di Kerala dan Tamil Nadu, legislasi akan dapat membantu mereka yang keluar dari sekolah. Pemikiran seperti ini memberikan argumen bahwa sangatlah penting untuk tidak hanya meningkatkan anggaran umum pada dunia pendidikan tetapi juga memperkenalkan cara-cara untuk mengurangi pembiayaan sekolah. Walaupun hal tersebut merupakan solusi yang parsial, menurut mereka, hal itu lebih penting untuk kepentingan orang tua yang mungkin merasakan bahwa kesempatan dan biaya sekolah masihlah sangat tinggi. Hal ini secara esensial dapat dilihat sebagai permasalahan sikap, yaitu sikap dari orang tua terhadap pendidikan anak-anak mereka, sikap negara terhadap buruh anak dan terhadap peningkatan kualitas sistem pendidikan. Suatu legislasi tidak dapat dengan sendirinya ditegakkan.Langkah-langkah kuat dalam hal penegakkan juga harus didirikan.


















BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai system pendidikan yang berlaku di masa Dinasti Han. Pemerintahan Dinasti Han telah membawa perubahan besar, dengan membawa kembali ajaran-ajaran confusius dalam kehidupan masyarakat Cina. Kebijakan tersebut membawa dampak perubahan ke arah yang baik dalam segala segi, khususnya pendidikan. Ajaran konfusius yang sangat mementingkan pendidikan dan masyarakat Cina yang sangat erat dengan ajaran-ajaran konfusius dalam menjalankan kehidupn sehari-harinya, membuat pendidikan mendapatkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat Cina. ajaran konfusius mengharuskan kepada pengikutnya untuk menuntut ilmu sampai kematian menjemputnya. Hal tersebut membuat masyarakat Cina, khususnya pada masa Dinasti Han sangat banyak yang menuntut ilmu, dan ditambah dengan keistimewaan-keistimewaan yang ditawarkan pihak pemerintah terhadap lulusan dari system ujian yang diterapkan. 
System pendidikan yang diterapkan oleh pihak pemerintahan pada saat itu pada awalnya bertujuan untuk mencari calon-calon pejabat pemerintahan yang beraliran konfusius. Jenjang pendidikan didasarkan atas tingkatan daerah administrative pemerintahan. Setiap distrik memiliki sekolah-sekolah, sampai pada akademi di ibukota kerajaan. Setiap jenjang tersebut diharuskan melewati system ujian yang terbagi ke dalam tiga tahapan. System ujian ini dinilai sangat berat, dikarebakan dari banyak orang yang ikut ujian ini hanya beberapa yang berhasil lulus. Kekaisaran dinasti han telah memberikan dasar-daar pada system ujian di daratan Cina, walaupun selanjutnya ada perubahan dan penambahan.
Materi-materi pelajaran yang diajarkan dalam proses belajar mengajar yaitu berasal dari isi kitab konfusius. Dalam kitab konfusius ini berisikan cerita-cerita dalam bentuk sastra, yang didalamnya terdapat ilmu sastra, ilmu strategi perang, ilmu pasti, ilmu hukum, dan sebagainya. Para murid diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut dan mengembangkannya sendiri dalam bentuk puisi (I Djumhur, : 14).
Dari gambar yang tertera (Lampiran 1) dapat diketahui metode mengajar yang digunakan para guru dalam menyampaikan bahan materi pelajaran. Para murid berkumpul mengelilingi guru yang sedang menyampaikan isi dari kitab konfusius tersebut. Setetah disampaikan kepada para murid, mereka diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 125). Jadi dari gambar dan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa metode mengajar yang digunakan oleh guru pada saat itu ialah metode ekspositori (ceramah).

B.       Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis berharap makalah ini bisa jadi referensi untuk pengetahuan tentang sejarah pendidikan, khususny6a di India dan China.

















DAFTAR PUSTAKA

H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak. 1951. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia I: India Tiongkok dan Djepang Indonesia. Jakarta: J.B. Wolters – Groningen
Muhammad Said dan Junimar Affan. 1987. Mendidik Dari Zaman ke Zaman. Bandung: Jemmars
Raymond Dawson. 1999. Kong Hu Cu. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Rochiati Wiriaatmadja. 2000. Diktat C Sejarah Asia Timur. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah, FPIPS, UPI.
__________________. 2003. Sejarah Peradaban Cina: Analisis Filosofis Historis dan Sosio Antropologis. Bandung: Humaniora.