Selasa, 03 September 2013

Bimbingan Belajar, di Antara Kebutuhan dan Kemampuan

Pendidikan yang diperoleh di bangku sekolah dirasa tak cukup  menggenjot nilai hasil kelulusan  siswa yang makin meningkat, terlebih untuk mempersiapkan diri ke jenjang yang lebih tinggi. Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) pun  menjadi pilihan populer para siswa.

Suasana di salah satu Lembaga Bimbingan Belajar. 

Lembaga Bimbingan Belajar berkibar, seiring semakin tingginya standar kelulusan Ujian Nasional (UN). Ditandai semakin banyaknya siswa yang berminat untuk menempuh berbagi program LBB, demi memperoleh nilai tinggi serta lulus di jenjang yang lebih tinggi.

Maraknya LBB menjadi pilihan tersendiri bagi siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya prestise, tuntutan, dan kegalauan siswa maupun orang tua agar anaknya memperoleh hasil belajar yang tinggi. Hal ini tidak terlepas dari pendidikan yang dirasa kurang di bangku sekolah.

Anak yang terobsesi oleh tuntutan orang tua, terpengaruh teman-temannya, dan terpincut promosi pengusaha bimbel, sebenarnya adalah anak yang mempunyai kemampuan dan kekurangan sekaligus
Hal ini menjadi lahan yang subur bagi bisnis pendidikan yang berkibar sebagai LBB atau biasa disebut bimbel ini. Akan tetapi, apakah bimbel benar-benar membimbing anak untuk dapat belajar dengan baik melalui usahanya sendiri dan sesuai dengan hakikat pendidikan(?)

Di bimbel, siswa dijejali dengan soal-soal. Hakikat belajar dibelokkan menjadi kemampuan menjawab soal. Nilai tambah bimbel dibanding sekolah adalah ketersediannya memberikan rumus-rumus praktis pelajaran.

Bimbel pun marak di tengah persaingan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Masing-masing menawarkan kelebihannya. Persaingan antar LBB pun tak terelakkan. Baik itu siswa yang ikut LBB karena keinginan sendiri ataupun dorongan prestise orang tua yang menginginkan anaknya memperoleh nilai yang tinggi serta lulus di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit.

Namun, jika di analisa kembali, jika seorang siswa belajar dengan sungguh-sungguh di sekolah serta diteruskan dengan tekun, teratur, dan tertib di rumahnya niscaya akan meraih hasil belajar yang baik pula. Namun, anak yang terobsesi oleh tuntutan orang tua, terpengaruh teman-temannya, dan terpincut promosi pengusaha bimbel, sebenarnya adalah anak yang mempunyai kemampuan dan kekurangan sekaligus.

Kemampuannya adalah anak sanggup menjaga prestise orang tua, bergaul dengan sesamanya dan mampu membayar ratusan ribu bahkan jutaan rupiah biaya bimbel. Adapun kekurangannya cuma satu: minim percaya diri. Kekurangpercayaan pada kemampuan sendiri, pada proses belajar dan kegiatan pendidikan di sekolah, hal inilah yang menyuburkan ladang bisnis bimbel di kota-kota besar, tak terkecuali Makassar.

Bagi siswa yang sulit belajar mandiri, kurang dapat mengikuti pelajaran dari guru di sekolah atau kondisi lingkungan rumahnya tidak kondusif untuk belajar dan orang tuanya memiliki cukup dana-biaya, maka ikut bimbel sangat direkomendasikan di sini. Tetapi dengan catatan, siswa tetap pro-aktif selama ikut bimbel, tidak pasif, cuma menjadi penonton para pengajar bimbel yang sibuk mengotak-atik jurus/rumus singkat pemecahan soal.   

Siswa, selain rajin mencatat penjelasan para tentor dan menyimak buku-buku panduannya, juga harus aktif bertanya baik selama proses belajar berlangsung maupun di luar waktu itu, jika sekiranya ada materi soal yang tidak dimengertinya. Jangan menyia-nyiakan ratusan ribu hingga jutaaan rupiah uang orang tua kalau hanya untuk berbengong ria atau ngerumpi sesama siswa di bimbel!

Padahal di sisi lain, sukses menembus SPMB tak harus ditentukan oleh ikut kursus di bimbel. Lebih baik anak-anak itu mempersiapkan diri dengan benar sejak masuk SLTA dengan memahami benar pelajarannya. Kalau ia paham benar terhadap apa yang dipelajari di sekolah ditambah mau belajar kembali secara teratur, tak usah ikut bimbingan belajar juga bisa. Buktinya, anak-anak di daerah yang umumnya tak mampu sehingga jelas tak bisa ikut bimbingan belajar bisa lolos tes SPMB. Modalnya hanya rajin belajar, paham, dan mengerti pelajaran sebagaimana kurikulum yang berlaku. Bimbingan belajar, hanya dibutuhkan oleh mereka yang malas belajar, tetapi ingin lulus ujian.

Pada pokoknya ia mengatakan, belajar tak bisa dengan cara instan. Apalagi, tujuan tes sebenarnya untuk memprediksi kemampuan calon mahasiswa ketika menempuh ilmu di perguruan tinggi. Itulah sebabnya, di dalam soal jenis IPC (gabungan IPS dan IPA), kemampuan siswa memahami ilmu secara terpadu benar-benar diuji. Jika ia hanya belajar instant, setengah matipun tak akan bisa memahami ilmunya, karena pemahaman itu terjadi lewat proses pembelajaran.

Jelas sudah, bimbingan belajar sebenarnya hanya sarana untuk mengajak siswa mau belajar keras. Tanpa ia paham benar ilmunya, maka hasilnya akan berakhir sia-sia. Perlu ikut bimbingan belajar atau tidak, keputusannya kembali kepada kebutuhan masing-masing orang.

Tidak ada komentar: