Tampilkan postingan dengan label makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label makalah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Desember 2012




MAKALAH
KRITIK SASTRA
(PENILAIAN KARYA SASTRA, ANALISIS KARYA SASTRA
DAN PENERAPANNYA)


OLEH

BAU RANA





SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH BULUKUMBA
2012



KATA PENGANTAR
Tiada kata yang patut kita ucapkan selain Alhamdulillah, atas segala nikmat dan hidayah yang tak henti-hentinya Allah SWT berikan kepada penyusun, puji syukur hanya bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan sedikit ilmu-NYA kepada ummat manusia. Salawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa sedikit ilmu Allah dan memberi contoh bagaimana mengamalkan ilmu itu, yang telah menghamparkan permadani yang indah dan menggulung tikar-tikar kebatilan, kemudian semoga terlimpahkan pula keselamatan bagi keluarga dan sahabat Nabi.
            Dalam penyusunan makalah ini, penyusun pastinya menemui banyak hambatan dan kesulitan. Namun, berkat semangat dan bantuan serta dukungan dari semua pihak, hambatan dan kesulitan itu bisa teratasi. Penyusunan makalah ini sebagai tugas kelompok  pada mata kuliah “Kritik Sastra”. Penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan dan penyelesaian makalah ini.
Bulukumba,   November 2012


Tema Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................            i
KATA PENGANTAR..............................................................................            ii
DAFTAR ISI............................................................................................             iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................          1
A.     Latar Belakang................................................................................            1
B.    Rumusan Masalah..........................................................................           2
C.    Tujuan Penulisan............................................................................           2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................           3
A.      Penilaian Karya Sastra...................................................................           3
B.       Analisis Karya Sastra dan Penerapan Nilai..................................       5
BAB III PENUTUP..................................................................................            11
A.     Simpulan.........................................................................................              11           
B.    Saran................................................................................................             11
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................           12


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Untuk melihat adanya kebaruan atau inovasi dalam karya yang bersangkutan, tidak dapat lain, kita mesti mencermati semua unsur intrinsik yang melekat dalam karya tersebut. Dalam hal ini, acuan untuk menentukannya bukan pada tema karya bersangkutan, melain-kan pada semua unsur intrinsik yang terdapat pada karya-karya yang terbit sebelumnya. Sebagai contoh, apakah tema novel Sitti Nurbaya (1922) atau Salah Asuhan (1928) memperlihatkan kebaruannya atau tidak? Untuk memperoleh jawabannya, maka kita harus melihat dahulu karya yang terbit sebelumnya; Azab dan Sengsara (1920) misalnya.
Ketika seorang pembaca berhadapan dengan karya sastra, apakah ia dapat lang-sung mengatakan bahwa karya itu baik atau tidak? Tentu saja penilaian dengan cara demikian tidak objektif . Pertama-tama yang harus dilakukan adalah membaca karya itu dahulu. Jika sudah kita cermati benar, barulah kita dapat memberi penilaian atas karya yang bersangkutan.
Untuk menghasilkan penilaian yang objektif dapat dipertanggungjawabkan, tentu saja cara penilaian yang seperti itu tidaklah tepat. Bahkan terkesan sangat subjektif. Pe-nilaian demikian jelas sangat bergantung pada kesan dan sikap suka atau tidak suka. Ia akan menghasilkan penilaian yang relatif, karena sangat ditentukan oleh subjektivitas pem-baca. Jika demikian, dasar apa yang dapat kita gunakan untuk menentukan sebuah karya sastra dikatakan baik atau buruk, berhasil atau tidak? Kriteria apa yang kita gunakan untuk menentukannya, sehingga ada genre sastra garda depan (avant garde), sastra serius, dan sastra populer.
Demikianlah untuk menentukan sebuah karya berhasil atau tidak, kita mesti memi-sahkannya dahulu dari nama pengarangnya. Oleh karena itu, kita mesti menjawabnya ber-dasarkan karyanya itu sendiri dan bukan karena pengarangnya atau latar belakang diri pengarang bersangkutan.
B.    Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalahnya yaitu, “Bagaimanakah penilaian, analisis dan penerapan dalam suatu karya sastra?”
C.    Tujuan Penulisan
Dengan melihat rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisannya adalah “Untuk mengetahui penilaian, analisis dan penerapan dalam suatu karya sastra”.









BAB II
PEMBAHASAN
A.     PENILAIAN KARYA SASTRA
Karya sastra sebagai karya seni memerlukan pertimbangan,, memerlukan penilaian akan seninya. Sejauh manakah nilai seni suatu karya sastra; atau mengapakan suatu karya sastra dikatakan mempunyai nilai seni, atau mengapa karya sastra dikatakan indah.
Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan kegunaannya, kekurang pahaman tentang penilaian seringkali menimbulkan kesesatan dan penilaian yang tidak tepat. Sering hal ini menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat dan guna (fungsi) karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra sebagai karya seni, hanya menjadi alat propaganda, yang nilainya sama dengan teks pidato.
Aoh Kartahadimadja (Pradopo, 1994: 31) menyatakan pendapatnya tentang batas untuk menentukan baik dan buruknya suatu sajak, cukuplah bagi si pendengar atau peninjau untuk menerimanya. Berdasarkan kutipan tersebut, Aoh tidak menganalisis hubungan nilai, hakikat sastra, dan fungsi seni sastra hingga jawabnya sangat subjektif dan tidak jelas. Sebab itu, betapa pentingnya dalam menilai karya sastra untuk mengetahui hubungan nilai, hakikat, dan fungsi. Rene Wellek (Pradopo, 1994: 31) menyetakan pentingnya hubungan hakikat, fungsi, dan penilaian karya sastra, yaitu: “Bagaimana orang menilai dan menentukan nilai sastra? Harus kita jawab dengan definisi-definisi. Seharusnya orang menilai karya sastra seperti adanya dan menaksir nilai itu menurut kadar sastra, hakikat sastra, fungsi dan penilaian erat hubungannya”.
Ada banyak batasan tentang hakikat kesusastraan, Zuber Usman (Pradopo, 1994: 33) kesusastraan adalah hasil pekerjaan pengarang dan penyair; Suparlan mendefinisikan kesusastraan adalah kesenian suatu bangsa dalam melahirkan pikiraan, perasaan, dan kemauan dengan bahasa.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka disimpulkan hakikat kesusastraan adalah hasil karya penyair yang bersifat imaginatif dan estetika.
Hakikat fungsi karya sastra yaitu menyenangkan dan berguna yang bersifat objektif terpancar dari karya sastra itu sendiri. Kedua fungsi sifat ini hadir bersamaan dan tidak dapat dipsahkan karna meskipun pengungkapannya menyenangkan, tetapi bila diungkapkan itu hanya hal yang remeh maka tidak ada gunanya. Sebaliknya, bila diungkapkan adalah pengalaman besar tetapi diungkapkan dengan cara yang buruk maka orang tidak tertarik terhadap karyanya.
Seni sastra menyenangkan dan seimbang karna hakikatnya sendiri, seni sastra menyenangkan karna sifatnya seimbang, berirama, kata-kata menarik hati, mengharukan, mengandung ketegangan, dan sebaliknya. Sifat yang demikianla yang memikat para penikmat sastra. Karya sastra yang kian banyak memberikan kesenangan dan kian banyak memberikan kegunaan maka kian tinggi mutunya.
Dalam menilai karya sastra berdasarkan fungsinya, haruslah menggunakan kriterian hakikat, sedang fungsi lain diluar diluar hakikat tersebut jatuh pada kriterian kedua bisa masih menginginkan penilaian karya sastra sebagai karya seni. Pada dasarnya ada tiga paham tentang penilaian yang penting, yaitu relativisme, absolutisme, dan perspektivisme.
Relativisme adalah paham penilaian yang menhendaki tidak adanya penilaian lagi, atau penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra. Bila suatu karya dianggap bernilai oleh masyarakat pada zaman tertentu, maka karya sastra tersebut haruslah dianggap bernilai pada zaman dan tempat lain.
Penilaian Absolutisme ini menilai karya sastra berdasarkan paham-paham, aliran-aliran, politik, moral, ataupun berdasar ukuran-ukuran tertentu yang sifatnya dogmatis dan berdasarkan pandangan yang sempit sehingga dengan demikian sifat penilaian tidak berdasarkan pada metode literer, tidak berdasarkan pada hakikat seni itu sendiri.
Kesimpulan dari uraian tersebut bahwa dalam menilai karya sastra haruslah mengingat karya sastra sebagai karya seni yang bersifat  imaginatif dan bersifat seni.

B.    ANALISIS KARYA SASTRA DAN PENERAPAN NILAI
Dalam pembicaraan dan analisis serta penerapan nilai karya sastra ini, kita mengambil contoh-contoh sajak, berdasar pada kenyataan bahwa puisi unsur-unsurnya lebih lengkap dan padat daripada prosa, seperti bunyi, irama, pembagian irama, pemilihan kata-kata, kombinasi kata, bahasa kiasan, dan gaya bahasa. Seperti dikemukakan Subagio Sastrowardojo dalam prasarannya di Semarang: “Puisi adalah inti pernyataan sastra. Demikianlah menurut sejarah dan hakekatnya. Menurut sejarahnya, pernyataan sastra pada semua bangsa dimulai dengan puisi, bahkan pada permulaan masa perkembangan itu, satu-satunya pernyataan sastra yang dipandang kesusastraan ialah puisi.
Juga di zaman modern, setelah bentuk prosa mendapat pengakuan sebagai kemungkinan pernyataan yang lain, puisi tetap menempati kedudukan yang sentral dalam kesusastraan memokokkan perhatiannya puisi. Saya kira keadaan ini disebabkan oleh hakikat puisi itu sendiri.
Menurut hakikatnya, ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi. Di dalam puisi terhimpun dan mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Di dalam puisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra, yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai oleh prosa.”
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut. Artinya, kritik sastra yang sederhana sekalipun hendaknya sampai pada penilaian yang argumentative tentang baik buruknya karya sastra tertentu. Penilaian karya sastra merupakan tujuan kritikus yang harus bekerja dengan kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu. Dalam pelaksanaannya terbilang rumit karena masalah tersebut bukan hanya bersifat teoretis, melainkan sekaligus terapan. Artinya kritikus harus memahami sejumlah teori sastra, kemudian dapat memilih secara tepat suatu teori yang akan diterapkan dalam karya sastra tertentu, dan pada akhirnya harus dapat menjelaskan hasil analisisnya kepada masyarakat. 
Menurut Rene Wellek puisi (karya sastra adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman, bukan jumlah pengalaman. Pengalaman seseorang itu pada waktu membaca puisi, hanyalah pelaksanaan sebagian kemungkinan yang dapat ditangkap dari puisi yang sedang dibacanya. Jadi, sebenanrnya ialah struktur norma-norma yang hanya sebagian saja dilaksanakan menjadi pengalaman-pegalaman masing-masing pembaca. Setiap pengalaman pembaca, misalnya membaca, deklamasi, dan sebagainya, adalah hanya usaha menangkap rangkaian norma-norma sastra itu. Karya sastra tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa lapis (strata) norma. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk (1931) dengan metode phenomenologi Edmond Husserl, menganalisis norma-norma itu:
1. Lapis suara (sound statum) dasar timbulnya.
2. Lapis arti (units of meaning) Masing-masing kata tergabung menjadi kesatuan di dalam konteks, syntagma, pola kalimat. Dari stuktur sintaksis ini timbul.
3. Lapis objek yang dikemukakan “dunia pengarang”, pelaku, tempat (setting).
Roman Indgarden menambahkan dua strata lagi yang sesungguhnya menurut Rene Wellek dapat dimasukkan atau tak usah dipisahkan dengan lapis ketiga (lapis dunia pengarang).
4. Lapis “dunia yang dilihat dari suatu titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung didalamnya (implied),
5. Stratum metafisika, lapis ini memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan sifat mulia, tragis, mengerikan, dan suci. Lapis ini tak selalu terdapat dalam karya sastra.
Setelah karya sastra itu dinilai berdasarkan norma-normanya, barulah dapat disimpulkan bahwa suatu karya sastra bernilai seni, kurang bernilai, atau tidak bernilai.
Contoh puisi yang akan dianalisis adalah “Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang”, karya W. S. Rendra.
Doa Serdadu Sebelum Perang

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara
,

Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
,
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

(W.S Rendra dalam Pradopo, 94: 80)

       Pada sajak diatas, tingkat anorgansi sudah dapat dicapai, seperti pembagian baris sajak dan bait yang sesuai dengan pembagian isi pikiran, enjabement (perloncatan baris sajak), dan pola persajakan. Di samping itu, ungkapan yang puitis disebabkan keplastisan dan sugestifsebagai berikut.
       Wajah-Mu membayang di kota trebakar, yang memberi sugiesti adanya yang menghancurkan kota, ungkapan itu lebih kongkret dibandingkan: di kota perang. Ribuan kuburan yang dangkal,  memberikan sugiesti bahwa dalam peramng banyak nyawa yang hilang sia-sia, yang hanya dikubur dengan dangkal atau mati dengan alasan sederhana tanpa arti.
       Dalam sajak tersebut penyair menggunakan lambang-lambang yang sugiestif, konotatif, dan memberi kejelasan hingga dapat mengungkapkan pengalaman jiwanya. Dalam sajak ini pengarang juga mengungkapkan majas-majas paradoks yang mengharukan karena sangat tepat, menunjukkan prtentangan arti, yang menimbulkan ketragisan, dapat mendramatisir peristiwa tersebut kehadapan mata kita.
     Dalam menilai karya sastra haruslah dilihat hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya, mengingat bahwa karya sastra penjilmaan jiwa sastrawan ke dalam suatu karya sastra dengan medium bahasa. Sehingga dalam menilai karya sastra haruslah dilihat berhasil atau tidaknya sastrawan menjilmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata. Namun, jika pengalaman jiwa itu dapat dijilmakan ke dalam kata, karya sastra itu tak mempunyai nilai tinggi jika pengalaman jiwanya itu hanya sederhana, sedikit, atau tidak lengkap, dan tidak meliputi keutuhan jiwa.
Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia itu terdiri dari lima tingkatan , begitu juga pengalaman jiwa terdiri dari lima tingkatan atau niveaux.
Tingkatan pertama: niveau anorganis, yaitu tingkatan jiwa yang terendah, yang sifatnya seperti benda mati, mempunyai ukuran, tinggi, rendah, panjang, dalam, dapat diraba, didengar, pendeknya dapat diindera. Bila tingkatan ini terjilma dalam karya sastra, berupa pola bunyi, irama, baris sajak, alinea, kalimat, perumpamaan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Tingkatan kedua: nivea vegetatif, yaitu tingkatan seperti tumbuh-tumbuhan, seperti pohon mengeluarkan bunga, mengeluarkan daunnya yang muda, gugur daunn dan sebagainya. Segala pergantian itu menimbulkan bermacam-macam suasan. Misalnya bila musim bunga suasana yang dimbulkan adalah romantis, menyenangkan, menggembirakan. Bila musim gugur menimbulkan suasana tertekan, menyedihkan, dan keputusasaan.
Tingkatan yang ketiga: niveau animal, yaitu tingkatan seperti yang dicapai binatang, yaitu sudah ada nafsu-nafsu jasmaniah. Dalam kata atau karya sastra maka tingkatan ini berupa hasrat untuk makan, minum, nafsu seksual, nafsu untuk membunuh dan sebagainya.
Tingkatan yang keempat: niveau human, yaitu tingkatan jiwa yang hanya dapat dicapai oleh manusia, berupa perasaan belas kasihan, dapat membedakan baik buruk, berjiwa gotong royong, saling membantu dan sebagainya.
       Berdasarkan uraian-uraian diatas, pengalaman jiwa itu yang menjadi dasar terjelmanya kedalam kata. Dalam sajak, penyair dapat mengungkapkan pengalaman jiwanya kedalam kata berupa gambaran kongkret dengan perang bencana yang ditimbulkan. Dengan demikian sajak “Doa seorang serdadu sebelum perang” dapat memenuhi kriteria puisi yang bernilai seni, beberan (pengekspresian) indah dan besar muatannya. Begitupun jika dinilai dari sudut keasliannya serta daya kreativitasnya, sajak ini bukan jiplakan serta mengandung daya cipta karena pengungkapannya asli, berwatak sendiri, dan memberikan dunia khusus yaitu dunia penyair.














BAB III
PENUTUP
A.     Simpulan
       Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan kegunaannya, kekurang pahaman tentang penilaian seringkali menimbulkan kesesatan dan penilaian yang tidak tepat. Sering hal ini menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat dan guna (fungsi) karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra sebagai karya seni, hanya menjadi alat propaganda, yang nilainya sama dengan teks pidato.
     Hakikat fungsi karya sastra yaitu menyenangkan dan berguna yang bersifat objektif terpancar dari karya sastra itu sendiri. Kedua fungsi sifat ini hadir bersamaan dan tidak dapat dipsahkan karna meskipun pengungkapannya menyenangkan, tetapi bila diungkapkan itu hanya hal yang remeh maka tidak ada gunanya. Sebaliknya, bila diungkapkan adalah pengalaman besar tetapi diungkapkan dengan cara yang buruk maka orang tidak tertarik terhadap karyanya.
       Menurut hakikatnya, ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi. Di dalam puisi terhimpun dan mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Di dalam puisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra, yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai oleh prosa.”
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut
B.    Saran
       Dalam penulisan makalah ini, penulis berharap makalah ini dapat dijadikan referensi, terkhusus bagi mahasiswa yang memilih jurusan bahasa da Sastra Indonesia sebagai calon guru kedepannya. Semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
       Mahayana, Maman S. Kriteria penilaian dalam kritik Sastra.                   . Depok.




Jumat, 19 Oktober 2012



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi
Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran. Untuk itu disini kami akan mencoba membahas mengenai pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan. Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun Jepang.

B.  Rumusan Masalah
1. Bagaimana Strategi Jepang Memanfaatkan Sistem Pendidikan untuk Memenangkan Peperangan Pasifik?
2.   Bagaimana Jepang menerapkan kebijakan pendidikan?
C.  Tujuan Penulisan
1. Untuk menetahui Strategi Jepang Memanfaatkan Sistem Pendidikan untuk Memenangkan Peperangan Pasifik.
2. Untuk mengetahui bagaiman Jepang menerapkan kebijakan pendidikan.















BAB II

A.  Memanfaatkan Sistem Pendidikan untuk Memenangkan Peperangan Pasifik
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
B.  Penerapan Kebijakan Pendidikan
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda. 
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4) Pendidikan Tinggi. Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi,
Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi).
Karena itulah, di Indonesia mereka mencoba format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;
2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang;
3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;
4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta
5) Olaharaga dan nyanyian Jepang.
Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini:
1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi;
2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi;
3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang;
5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer;
6) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan.
Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). 
Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.  Di daerah-daerah dibentuk Sumuka;
2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin;
4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta;
5) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan
6) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. 
Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.


BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.
Terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.

B.       Saran
Menyongsong hari pendidikan yang telah kita lalui, betapa mulianya bila kita selaku anak bangsa yang di hari nanti akan memimpin bangsa ini untuk giat belajar dan beribadah. Belajar dapat di implementasikan dengan cara banyak membaca, baik itu dengan membeli buku ataupun dengan pergi ke perpustakaan. Sebab “orang yang rajin membaca adalah orang yang sadar dirinya bodoh ! dan orang yang rajin membaca belum ada sejarahnya yang bodoh !!!
Setelah kita mempelajari pembahasan diatas maka kita dapat mengetahui sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, alangkah baiknya kita bukan hanya sengetahui sejarah saja akan tetapi kita harus bisa mengaplikasikanya ke zaman sekarang dan zaman yang akan datang.












DAFTAR USTAKA
Anam, S. 2006. Sekolah Dasar Pergulatan Mengejar Ketertinggalan. Solo: Wajatri. h. 113-148
Pikiran Rakyat. 2006. Kurikulum 2006 Pangkas 100-200 Jam Pelajaran. [on line] http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/032006/08/0701.htm
Sanjaya, W. (2007) Kajian Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI.
Soenarta, N. (2005). Biaya Pendidikan di Indonesia: Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI. [on line] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/05/pddkn/1190238.htm
http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/pendidikan-di-zaman-pendudukan jepang/