BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi
pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi
lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan.
Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati
generasi
Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir
seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca
kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka
sebelum kelahiran. Untuk
itu disini kami akan mencoba membahas mengenai pendidikan di Indonesia pada
masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan. Lahirnya suatu sistem
pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi
langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah
pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun Jepang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Strategi Jepang Memanfaatkan Sistem
Pendidikan untuk Memenangkan Peperangan Pasifik?
2. Bagaimana
Jepang menerapkan kebijakan pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menetahui Strategi
Jepang Memanfaatkan Sistem Pendidikan untuk Memenangkan Peperangan Pasifik.
2. Untuk mengetahui
bagaiman Jepang menerapkan kebijakan pendidikan.
BAB II
A. Memanfaatkan Sistem Pendidikan untuk Memenangkan Peperangan Pasifik
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan
wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi
Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand,
Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan
ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko
Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”,
bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan
menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan
militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa
dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung
kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
B. Penerapan Kebijakan Pendidikan
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan,
Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada
Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait
pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era
kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
1)
Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan
Bahasa Belanda;
2)
Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan
kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu
kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko
/ Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang
merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa
Hindia Belanda.
2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri
dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan
Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup
sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan,
pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4) Pendidikan Tinggi. Guna memperoleh
dukungan tokoh pribumi,
Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera
Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan
K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the
Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya
mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki
Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang
mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan
mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi).
Karena itulah, di Indonesia mereka mencoba format pendidikan yang
mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada
menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan
sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator
Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia
Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar
memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya.
Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;
2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan
semangat Jepang;
3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;
4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta
5) Olaharaga
dan nyanyian Jepang.
Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang
mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas
berikut ini:
1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo
setiap pagi;
2) Mengibarkan bendera Jepang,
Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi;
3) setiap pagi mereka juga harus
melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan
Taiso, senam Jepang;
5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer;
6) Menjadikan bahasa
Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan.
Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib
diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China).
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China).
Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk
mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk
kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe
akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga
melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan
kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi
kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi
Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini
menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat
dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
1) Mengubah Kantoor Voor
Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi
Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah
dibentuk Sumuka;
2) Pondok pesantren sering mendapat
kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
3) Mengizinkan pembentukan barisan
Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di
bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin;
4) Mengizinkan berdirinya Sekolah
Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan
Bung Hatta;
5)
Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air
(PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan
6) Diizinkannya Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan
diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua
ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU.
Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi
berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu
perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu
kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin
Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama
yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di
masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko
(Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko
(Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan
Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang
pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan
Tinggi.
Terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa
kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa
Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam
sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
B.
Saran
Menyongsong hari pendidikan yang telah kita lalui,
betapa mulianya bila kita selaku anak bangsa yang di hari nanti akan memimpin
bangsa ini untuk giat belajar dan beribadah. Belajar dapat di implementasikan
dengan cara banyak membaca, baik itu dengan membeli buku ataupun dengan pergi
ke perpustakaan. Sebab “orang yang rajin membaca adalah orang yang sadar
dirinya bodoh ! dan orang yang rajin membaca belum ada sejarahnya yang bodoh !!!
Setelah kita mempelajari pembahasan diatas maka kita
dapat mengetahui sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang,
alangkah baiknya kita bukan hanya sengetahui sejarah saja akan tetapi kita
harus bisa mengaplikasikanya ke zaman sekarang dan zaman yang akan datang.
DAFTAR USTAKA
Anam, S. 2006. Sekolah Dasar Pergulatan Mengejar
Ketertinggalan. Solo: Wajatri. h. 113-148
Pikiran Rakyat. 2006. Kurikulum 2006 Pangkas 100-200
Jam Pelajaran. [on line] http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/032006/08/0701.htm
Sanjaya, W. (2007) Kajian Kurikulum dan
Pembelajaran. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI.
Soenarta, N. (2005). Biaya Pendidikan di Indonesia:
Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI. [on line]
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/05/pddkn/1190238.htm
http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/pendidikan-di-zaman-pendudukan jepang/
http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/pendidikan-di-zaman-pendudukan jepang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar