MAKALAH
KRITIK SASTRA
(PENILAIAN
KARYA SASTRA, ANALISIS KARYA SASTRA
DAN
PENERAPANNYA)
OLEH
BAU RANA
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH
BULUKUMBA
2012
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang patut kita ucapkan selain Alhamdulillah,
atas segala nikmat dan hidayah yang tak henti-hentinya Allah SWT berikan kepada
penyusun, puji syukur hanya bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan sedikit
ilmu-NYA kepada ummat manusia. Salawat dan salam semoga terlimpahkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa sedikit ilmu Allah dan memberi
contoh bagaimana mengamalkan ilmu itu, yang telah menghamparkan permadani yang
indah dan menggulung tikar-tikar kebatilan, kemudian semoga terlimpahkan pula
keselamatan bagi keluarga dan sahabat Nabi.
Dalam penyusunan makalah ini,
penyusun pastinya menemui banyak hambatan dan kesulitan. Namun, berkat semangat
dan bantuan serta dukungan dari semua pihak, hambatan dan kesulitan itu bisa
teratasi. Penyusunan makalah ini sebagai tugas kelompok pada
mata kuliah “Kritik Sastra”.
Penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyusunan dan penyelesaian makalah ini.
Bulukumba, November 2012
Tema Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL................................................................................. i
KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR
ISI............................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A.
Latar
Belakang................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah.......................................................................... 2
C.
Tujuan
Penulisan............................................................................ 2
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................... 3
A.
Penilaian Karya Sastra................................................................... 3
B.
Analisis Karya Sastra dan
Penerapan Nilai.................................. 5
BAB III
PENUTUP.................................................................................. 11
A.
Simpulan......................................................................................... 11
B.
Saran................................................................................................ 11
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk melihat adanya
kebaruan atau inovasi dalam karya yang bersangkutan, tidak dapat lain, kita
mesti mencermati semua unsur intrinsik yang melekat dalam karya tersebut. Dalam
hal ini, acuan untuk menentukannya bukan pada tema karya bersangkutan, melain-kan
pada semua unsur intrinsik yang terdapat pada karya-karya yang terbit
sebelumnya. Sebagai contoh, apakah tema novel Sitti Nurbaya (1922) atau Salah
Asuhan (1928) memperlihatkan kebaruannya atau tidak? Untuk memperoleh
jawabannya, maka kita harus melihat dahulu karya yang terbit sebelumnya; Azab
dan Sengsara (1920) misalnya.
Ketika seorang pembaca
berhadapan dengan karya sastra, apakah ia dapat lang-sung mengatakan bahwa
karya itu baik atau tidak? Tentu saja penilaian dengan cara demikian tidak
objektif . Pertama-tama yang harus dilakukan adalah membaca karya itu dahulu.
Jika sudah kita cermati benar, barulah kita dapat memberi penilaian atas karya
yang bersangkutan.
Untuk menghasilkan
penilaian yang objektif dapat dipertanggungjawabkan, tentu saja cara penilaian
yang seperti itu tidaklah tepat. Bahkan terkesan sangat subjektif. Pe-nilaian
demikian jelas sangat bergantung pada kesan dan sikap suka atau tidak suka. Ia
akan menghasilkan penilaian yang relatif, karena sangat ditentukan oleh
subjektivitas pem-baca. Jika demikian, dasar apa yang dapat kita gunakan untuk
menentukan sebuah karya sastra dikatakan baik atau buruk, berhasil atau tidak?
Kriteria apa yang kita gunakan untuk menentukannya, sehingga ada genre sastra
garda depan (avant garde), sastra serius, dan sastra populer.
Demikianlah untuk
menentukan sebuah karya berhasil atau tidak, kita mesti memi-sahkannya dahulu
dari nama pengarangnya. Oleh karena itu, kita mesti menjawabnya ber-dasarkan
karyanya itu sendiri dan bukan karena pengarangnya atau latar belakang diri
pengarang bersangkutan.
B.
Rumusan Masalah
Dengan melihat latar
belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalahnya yaitu, “Bagaimanakah
penilaian, analisis dan penerapan dalam suatu karya sastra?”
C.
Tujuan Penulisan
Dengan melihat rumusan masalah
diatas, maka tujuan penulisannya adalah “Untuk mengetahui penilaian, analisis
dan penerapan dalam suatu karya sastra”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENILAIAN KARYA SASTRA
Karya sastra sebagai karya seni memerlukan pertimbangan,,
memerlukan penilaian akan seninya. Sejauh manakah nilai seni suatu karya
sastra; atau mengapakan suatu karya sastra dikatakan mempunyai nilai seni, atau
mengapa karya sastra dikatakan indah.
Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan
kegunaannya, kekurang pahaman tentang penilaian seringkali menimbulkan
kesesatan dan penilaian yang tidak tepat. Sering hal ini menyebabkan orang
menilai karya sastra menyimpang dari hakikat dan guna (fungsi) karya sastra,
atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra sebagai karya seni, hanya
menjadi alat propaganda, yang nilainya sama dengan teks pidato.
Aoh Kartahadimadja (Pradopo, 1994: 31) menyatakan
pendapatnya tentang batas untuk menentukan baik dan buruknya suatu sajak,
cukuplah bagi si pendengar atau peninjau untuk menerimanya. Berdasarkan kutipan
tersebut, Aoh tidak menganalisis hubungan nilai, hakikat sastra, dan fungsi
seni sastra hingga jawabnya sangat subjektif dan tidak jelas. Sebab itu, betapa
pentingnya dalam menilai karya sastra untuk mengetahui hubungan nilai, hakikat,
dan fungsi. Rene Wellek (Pradopo, 1994: 31) menyetakan pentingnya hubungan
hakikat, fungsi, dan penilaian karya sastra, yaitu: “Bagaimana orang menilai
dan menentukan nilai sastra? Harus kita jawab dengan definisi-definisi.
Seharusnya orang menilai karya sastra seperti adanya dan menaksir nilai itu
menurut kadar sastra, hakikat sastra, fungsi dan penilaian erat hubungannya”.
Ada banyak batasan tentang hakikat kesusastraan, Zuber
Usman (Pradopo, 1994: 33) kesusastraan adalah hasil pekerjaan pengarang dan
penyair; Suparlan mendefinisikan kesusastraan adalah kesenian suatu bangsa
dalam melahirkan pikiraan, perasaan, dan kemauan dengan bahasa.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka disimpulkan
hakikat kesusastraan adalah hasil karya penyair yang bersifat imaginatif dan
estetika.
Hakikat fungsi karya sastra yaitu menyenangkan dan
berguna yang bersifat objektif terpancar dari karya sastra itu sendiri. Kedua
fungsi sifat ini hadir bersamaan dan tidak dapat dipsahkan karna meskipun
pengungkapannya menyenangkan, tetapi bila diungkapkan itu hanya hal yang remeh
maka tidak ada gunanya. Sebaliknya, bila diungkapkan adalah pengalaman besar
tetapi diungkapkan dengan cara yang buruk maka orang tidak tertarik terhadap
karyanya.
Seni sastra menyenangkan dan seimbang karna hakikatnya
sendiri, seni sastra menyenangkan karna sifatnya seimbang, berirama, kata-kata
menarik hati, mengharukan, mengandung ketegangan, dan sebaliknya. Sifat yang
demikianla yang memikat para penikmat sastra. Karya sastra yang kian banyak
memberikan kesenangan dan kian banyak memberikan kegunaan maka kian tinggi
mutunya.
Dalam menilai karya sastra berdasarkan fungsinya,
haruslah menggunakan kriterian hakikat, sedang fungsi lain diluar diluar
hakikat tersebut jatuh pada kriterian kedua bisa masih menginginkan penilaian
karya sastra sebagai karya seni. Pada dasarnya ada tiga paham tentang penilaian
yang penting, yaitu relativisme, absolutisme, dan perspektivisme.
Relativisme adalah paham
penilaian yang menhendaki tidak adanya penilaian lagi, atau penilaian yang
dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra. Bila suatu karya
dianggap bernilai oleh masyarakat pada zaman tertentu, maka karya sastra
tersebut haruslah dianggap bernilai pada zaman dan tempat lain.
Penilaian Absolutisme
ini menilai karya sastra berdasarkan paham-paham, aliran-aliran, politik,
moral, ataupun berdasar ukuran-ukuran tertentu yang sifatnya dogmatis dan
berdasarkan pandangan yang sempit sehingga dengan demikian sifat penilaian
tidak berdasarkan pada metode literer, tidak berdasarkan pada hakikat seni itu
sendiri.
Kesimpulan dari uraian tersebut bahwa dalam menilai karya
sastra haruslah mengingat karya sastra sebagai karya seni yang bersifat imaginatif dan bersifat seni.
B. ANALISIS
KARYA SASTRA DAN PENERAPAN NILAI
Dalam
pembicaraan dan analisis serta penerapan nilai karya sastra ini, kita mengambil
contoh-contoh sajak, berdasar pada kenyataan bahwa puisi unsur-unsurnya lebih
lengkap dan padat daripada prosa, seperti bunyi, irama, pembagian irama,
pemilihan kata-kata, kombinasi kata, bahasa kiasan, dan gaya bahasa. Seperti
dikemukakan Subagio Sastrowardojo dalam prasarannya di Semarang: “Puisi adalah inti
pernyataan sastra. Demikianlah menurut sejarah dan hakekatnya. Menurut
sejarahnya, pernyataan sastra pada semua bangsa dimulai dengan puisi, bahkan
pada permulaan masa perkembangan itu, satu-satunya pernyataan sastra yang
dipandang kesusastraan ialah puisi.
Juga di zaman modern, setelah bentuk prosa mendapat pengakuan sebagai kemungkinan pernyataan yang lain, puisi tetap menempati kedudukan yang sentral dalam kesusastraan memokokkan perhatiannya puisi. Saya kira keadaan ini disebabkan oleh hakikat puisi itu sendiri.
Juga di zaman modern, setelah bentuk prosa mendapat pengakuan sebagai kemungkinan pernyataan yang lain, puisi tetap menempati kedudukan yang sentral dalam kesusastraan memokokkan perhatiannya puisi. Saya kira keadaan ini disebabkan oleh hakikat puisi itu sendiri.
Menurut
hakikatnya, ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi. Di dalam puisi
terhimpun dan mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Di
dalam puisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra, yang tidak dapat sepenuhnya
dapat dicapai oleh prosa.”
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut. Artinya, kritik sastra yang sederhana sekalipun hendaknya sampai pada penilaian yang argumentative tentang baik buruknya karya sastra tertentu. Penilaian karya sastra merupakan tujuan kritikus yang harus bekerja dengan kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu. Dalam pelaksanaannya terbilang rumit karena masalah tersebut bukan hanya bersifat teoretis, melainkan sekaligus terapan. Artinya kritikus harus memahami sejumlah teori sastra, kemudian dapat memilih secara tepat suatu teori yang akan diterapkan dalam karya sastra tertentu, dan pada akhirnya harus dapat menjelaskan hasil analisisnya kepada masyarakat.
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut. Artinya, kritik sastra yang sederhana sekalipun hendaknya sampai pada penilaian yang argumentative tentang baik buruknya karya sastra tertentu. Penilaian karya sastra merupakan tujuan kritikus yang harus bekerja dengan kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu. Dalam pelaksanaannya terbilang rumit karena masalah tersebut bukan hanya bersifat teoretis, melainkan sekaligus terapan. Artinya kritikus harus memahami sejumlah teori sastra, kemudian dapat memilih secara tepat suatu teori yang akan diterapkan dalam karya sastra tertentu, dan pada akhirnya harus dapat menjelaskan hasil analisisnya kepada masyarakat.
Menurut
Rene Wellek puisi (karya sastra adalah sebab yang memungkinkan timbulnya
pengalaman, bukan jumlah pengalaman. Pengalaman seseorang itu pada waktu
membaca puisi, hanyalah pelaksanaan sebagian kemungkinan yang dapat ditangkap
dari puisi yang sedang dibacanya. Jadi, sebenanrnya ialah struktur norma-norma
yang hanya sebagian saja dilaksanakan menjadi pengalaman-pegalaman
masing-masing pembaca. Setiap pengalaman pembaca, misalnya membaca, deklamasi,
dan sebagainya, adalah hanya usaha menangkap rangkaian norma-norma sastra itu.
Karya sastra tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari
beberapa lapis (strata) norma. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman
Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk
(1931) dengan metode phenomenologi Edmond Husserl, menganalisis norma-norma
itu:
1.
Lapis suara (sound statum) dasar timbulnya.
2.
Lapis arti (units of meaning) Masing-masing
kata tergabung menjadi kesatuan di dalam konteks, syntagma, pola kalimat. Dari
stuktur sintaksis ini timbul.
3.
Lapis objek yang dikemukakan “dunia pengarang”, pelaku, tempat (setting).
Roman Indgarden menambahkan dua strata lagi yang sesungguhnya menurut Rene Wellek dapat dimasukkan atau tak usah dipisahkan dengan lapis ketiga (lapis dunia pengarang).
Roman Indgarden menambahkan dua strata lagi yang sesungguhnya menurut Rene Wellek dapat dimasukkan atau tak usah dipisahkan dengan lapis ketiga (lapis dunia pengarang).
4.
Lapis “dunia yang dilihat dari suatu titik pandang tertentu yang tak perlu
dinyatakan, tetapi terkandung didalamnya (implied),
5.
Stratum metafisika, lapis ini memberikan kesempatan kepada kita untuk
memikirkan sifat mulia, tragis, mengerikan, dan suci. Lapis ini tak selalu
terdapat dalam karya sastra.
Setelah
karya sastra itu dinilai berdasarkan norma-normanya, barulah dapat disimpulkan
bahwa suatu karya sastra bernilai seni, kurang bernilai, atau tidak bernilai.
Contoh puisi yang akan dianalisis adalah “Doa Seorang
Serdadu Sebelum Perang”, karya W. S. Rendra.
Doa Serdadu
Sebelum Perang
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak
menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila
malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam
dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara,
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara,
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa
yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku,
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku,
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
(W.S
Rendra dalam Pradopo, 94: 80)
Pada sajak diatas, tingkat anorgansi
sudah dapat dicapai, seperti pembagian baris sajak dan bait yang sesuai dengan
pembagian isi pikiran, enjabement
(perloncatan baris sajak), dan pola persajakan. Di samping itu, ungkapan yang
puitis disebabkan keplastisan dan sugestifsebagai berikut.
Wajah-Mu membayang di kota trebakar, yang memberi sugiesti
adanya yang menghancurkan kota, ungkapan itu lebih kongkret dibandingkan: di
kota perang. Ribuan kuburan yang dangkal,
memberikan
sugiesti bahwa dalam peramng banyak nyawa yang hilang sia-sia, yang hanya
dikubur dengan dangkal atau mati dengan alasan sederhana tanpa arti.
Dalam sajak tersebut penyair menggunakan
lambang-lambang yang sugiestif, konotatif, dan memberi kejelasan hingga dapat
mengungkapkan pengalaman jiwanya. Dalam sajak ini pengarang juga mengungkapkan
majas-majas paradoks yang mengharukan karena sangat tepat, menunjukkan
prtentangan arti, yang menimbulkan ketragisan, dapat mendramatisir peristiwa
tersebut kehadapan mata kita.
Dalam menilai karya sastra
haruslah dilihat hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya, mengingat
bahwa karya sastra penjilmaan jiwa sastrawan ke dalam suatu karya sastra dengan
medium bahasa. Sehingga dalam menilai karya sastra haruslah dilihat berhasil
atau tidaknya sastrawan menjilmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata. Namun,
jika pengalaman jiwa itu dapat dijilmakan ke dalam kata, karya sastra itu tak
mempunyai nilai tinggi jika pengalaman jiwanya itu hanya sederhana, sedikit,
atau tidak lengkap, dan tidak meliputi keutuhan jiwa.
Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia itu terdiri dari lima tingkatan , begitu juga pengalaman jiwa terdiri dari lima tingkatan atau niveaux.
Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia itu terdiri dari lima tingkatan , begitu juga pengalaman jiwa terdiri dari lima tingkatan atau niveaux.
Tingkatan
pertama: niveau anorganis, yaitu tingkatan jiwa yang terendah, yang sifatnya
seperti benda mati, mempunyai ukuran, tinggi, rendah, panjang, dalam, dapat
diraba, didengar, pendeknya dapat diindera. Bila tingkatan ini terjilma dalam
karya sastra, berupa pola bunyi, irama, baris sajak, alinea, kalimat,
perumpamaan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Tingkatan
kedua: nivea vegetatif, yaitu tingkatan seperti tumbuh-tumbuhan, seperti pohon
mengeluarkan bunga, mengeluarkan daunnya yang muda, gugur daunn dan sebagainya.
Segala pergantian itu menimbulkan bermacam-macam suasan. Misalnya bila musim
bunga suasana yang dimbulkan adalah romantis, menyenangkan, menggembirakan.
Bila musim gugur menimbulkan suasana tertekan, menyedihkan, dan keputusasaan.
Tingkatan
yang ketiga: niveau animal, yaitu tingkatan seperti yang dicapai binatang,
yaitu sudah ada nafsu-nafsu jasmaniah. Dalam kata atau karya sastra maka
tingkatan ini berupa hasrat untuk makan, minum, nafsu seksual, nafsu untuk
membunuh dan sebagainya.
Tingkatan
yang keempat: niveau human, yaitu tingkatan jiwa yang hanya dapat dicapai oleh
manusia, berupa perasaan belas kasihan, dapat membedakan baik buruk, berjiwa
gotong royong, saling membantu dan sebagainya.
Berdasarkan uraian-uraian diatas,
pengalaman jiwa itu yang menjadi dasar terjelmanya kedalam kata. Dalam sajak,
penyair dapat mengungkapkan pengalaman jiwanya kedalam kata berupa gambaran
kongkret dengan perang bencana yang ditimbulkan. Dengan demikian sajak “Doa
seorang serdadu sebelum perang” dapat memenuhi kriteria puisi yang bernilai
seni, beberan (pengekspresian) indah dan besar muatannya. Begitupun jika
dinilai dari sudut keasliannya serta daya kreativitasnya, sajak ini bukan
jiplakan serta mengandung daya cipta karena pengungkapannya asli, berwatak
sendiri, dan memberikan dunia khusus yaitu dunia penyair.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Suatu nilai
tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan kegunaannya, kekurang pahaman tentang
penilaian seringkali menimbulkan kesesatan dan penilaian yang tidak tepat.
Sering hal ini menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat
dan guna (fungsi) karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya
sastra sebagai karya seni, hanya menjadi alat propaganda, yang nilainya sama
dengan teks pidato.
Hakikat fungsi
karya sastra yaitu menyenangkan dan berguna yang bersifat objektif terpancar
dari karya sastra itu sendiri. Kedua fungsi sifat ini hadir bersamaan dan tidak
dapat dipsahkan karna meskipun pengungkapannya menyenangkan, tetapi bila
diungkapkan itu hanya hal yang remeh maka tidak ada gunanya. Sebaliknya, bila
diungkapkan adalah pengalaman besar tetapi diungkapkan dengan cara yang buruk
maka orang tidak tertarik terhadap karyanya.
Menurut hakikatnya,
ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi. Di dalam puisi terhimpun dan
mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Di dalam puisi ada
konsentrasi unsur pembentuk sastra, yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai
oleh prosa.”
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut
B.
Saran
Dalam
penulisan makalah ini, penulis berharap makalah ini dapat dijadikan referensi,
terkhusus bagi mahasiswa yang memilih jurusan bahasa da Sastra Indonesia
sebagai calon guru kedepannya. Semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Mahayana, Maman S. Kriteria
penilaian dalam kritik Sastra. .
Depok.